Midnight Dream II

237 37 5
                                    

Pandangannya menyapu seluruh ruangan yang didominasi warna hitam, sangat kontras dengan ruangan putih yang sebelumnya ia tempati selama beberapa hari. Ah baru satu hari tapi si bungsu sudah merindukannya.

Bright duduk di tepian ranjangnya, lalu merebahkan tubuhnya yang merasa pegal karena berkuda seharian. Ia menatap langit-langit kamarnya dalam diam, memutar kembali ingatan akan sebuah tempat yang sangat indah. Berbicara tentang tempat yang identik akan seseorang, bright teringat lilin yang diberikan win kepadanya.

Tanpa berpikir panjang bright bangkit, merogoh kantong yang ia bawa dan segera membakar lilin itu hingga terkikis habis. Sungguh rindu yang menggebu menuntut untuk segera dikikis bersamaan dengan terbakarnya lilin yang asapnya membumbung memenuhi udara hingga keluar kamarnya.

Lilin itu menyala dengan api yang tenang, seperti sihir bright duduk sembari memperhatikan dengan lamat api yang seakan mengajaknya berdansa. Bright dapat melihat langkah malu-malu metawin dengan senyum teduh seperti kelinci, Suaranya yang berbisik pelan hingga membuat bright meremang, atau sapuan dan kecupan ringan yang ia dambakan kembali.

Asap tipis yang membumbung tinggi itu tidak mau melebur satu bersama angin yang berseru, melainkan terus terbang mengelilingi kastil, menyapa siapa saja yang ia temui. Bright terlena, tanpa ia sadari asap dari api yang ia bawa dari Aeryian menyebar racun, racun yang membuat siapapun yang pernah tau atau singgah di Aeryian, siapapun yang pernah bertemu dengan para omega Elunary akan lupa dalam ingatannya, Kecuali bright. Bright hanya akan mengingat metawin dengan segala dunianya yang ia bawa.

Brakkkk
Pintu kayu yang beradu dengan dinding marmer itu dipaksa terbuka. Menampilkan sesosok gadis muda yang kini tengah berlari kearah bright yang masih setia menatap lilin yang perlahan terbakar habis.

"Uh baunya"
Bright masih tidak bergeming.

Tu mendekat dan duduk dengan bertopang dagunya, memandang lekat pemuda alpha yang masih memusatkan seluruh perhatiannya pada sebatang lilin. Pandangan memuja yang tu berikan sarat akan kerinduan terdalam untuk alpha yang bahkan tidak menyadari kehadirannya, atau mungkin ia sudah tau tapi memilih untuk tetap acuh.

"Kak bright"
Nada takut akan mendapat gerutuan kesal tu sampaikan dengan tenang.

"Hmm"
Oh lihatlah bagaimana senyum tu yang merekah mendengar nada berat yang teredam, juga senyum yang tersungging tipis di bibir bright, walaupun tu tau hal yang membuatnya tersenyum bukan berasal darinya.

"Kau darimana saja? Aku merindukanmu"
Masih dengan nada pelan, tu mengatakannya dengan pandangan harap sekaligus takut, takut jika yang akan ia dapatkan adalah penolakan.

"Aku juga merindukanmu"
Tu mematung ketika bright menoleh dan memamerkan senyum terhangatnya. Senyum yang selama ini tu inginkan. Senyum yang membuatnya memutar memori bertahun-tahun lampau ketika ia dan alpha Gaelic bermain di rerumputan kastil.

"Aku merindukan adik kecil nakal yang suka mencuri muffin ini"
Bright mengusak dan menyugar rambut tu dengan pelan. Tu berteriak tertahan didalam benaknya. Bukan, bukan sebagai adik kecil yang ia harapkan.

"Adik kecil?"

"Hmm, tu. Apakah saat ini aku terlihat seperti orang yang paling bahagia di dunia?"
Mau tak mau hanya anggukan yang tu berikan, karena memang dasarnya alpha kesayangannya ini seperti seorang yang habis memenangkan lotre.

"Aku bahagia tu sangat bahagia"

"Kenapa?"

"Aku seakan dapat merasakan bau bunga disetiap sudut kastil ini. Aku dapat mendengar langkah kaki malu-malu yang ia paksakan berlari. Bahkan tu, aku dapat melihat pucuk rambutnya yang bergoyang, lembutnya kain yang ia gunakan sebagai baju, aku dapat merasakannya tu, aku dapat merasakannya hingga dadaku seolah akan meledak"

The SlaileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang