Tiga Belas

1.4K 179 26
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Happy reading!
Sorry for typo




Jaka cepat-cepat berdiri dan berlari menuju pintu, saat melihat Chandra ingin pergi meninggalkan kelas. Ia merentangkan kedua tangannya menahan, agar Chandra tidak pergi begitu saja sebelum memenuhi janjinya tadi pagi untuk mentraktirnya sempol.

"Mau kemana Lo?"

Chandra mengusap tengkuknya. "Ee... Mau balik lah!"

Jaka mengadakan sebelah tangannya, membuat Chandra mengerutkan keningnya, bingung.

"Duit, Lo tadi janjinya mau traktir gue sempol."

"Oiya! Nih, beli sendiri ya. Gue ada urusan." Chandra memberikan uang lima puluh ribu kepada Jaka.

Jaka tersenyum lebar, lalu pindah kesisi kanan Chandra. Mempersilahkan pemuda itu untuk lewat, sambil menepuk pundaknya. "Oke makasih ya, baek-baek Lo di jalan."

"Siap!" Chandra mempercepat jalannya menuju kelas dua belas IPA satu, alias kelas gadis yang ia temui di perpustakaan tadi.

Koridor kelas sudah sepi, karena bel pulang sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Sengaja Chandra memilih waktu lebih lama, agar tidak menjadi pusat perhatian. Walaupun Chandra yakin ia tidak akan sepopuler itu untuk menjadi bahan ghibahan gadis-gadis di sekolah nya.

Chandra mengetuk pintu kelas yang mana membuat Abel terkejut. Chandra tertawa pelan melihat reaksi Abel, ia berjalan mendekati Abel sambil mengamati kelas saudaranya. "Beda ya kelasnya orang pinter sama orang bodoh."

Abel mengerutkan keningnya.

"Adem banget disini, mana bau ruangannya nenangin banget lagi. Beda sama kelas gue, bau nya campur-campur."

Abel tertawa menanggapi ucapan Chandra setelah itu ia menuliskan sesuatu di kertasnya. "Ini karena ada pengharum ruangan, gak ada bedanya."

Chandra cengengesan. "Yaudah ayo balik, udah gak ada urusan kan?"

Abel menggelengkan kepalanya.

Chandra menarik tangan Abel agar mengikutinya, sedangkan gadis itu hanya menundukkan kepalanya.

"Kita ke parkiran dulu ya? Mau ambil sepeda." Gadis itu menganggukkan kepalanya.

Abel mencuri pandang ke arah Chandra. Pemuda ini sangat tinggi, ia hanya se lengan atasnya. Abel beralih ke genggaman tangan mereka. Telapak tangan yang besar dan hangat. Ia tersenyum tipis, membalas genggaman Chandra. Tidak akan ia lepaskan lagi tangan ini.

Sesampainya di parkiran, Chandra meminta Abel untuk naik di pijakan yang ada di antara ban sepeda belakang, lalu memegang pundaknya sebagai pegangan.

"Sudah?"

Abel memberikan jempolnya sebagai isyarat ia sudah siap.

"Oke, siap meluncurrr."

Chandra menggoes sepedanya melewati gerbang sekolah, ia bersyukur Hanif memasang pijakan di sepedanya. Kalau tidak, mungkin mereka akan berjalan sambil menuntun sepeda.

SUKA DUKA AGUSTUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang