Ara menarik wajahnya lalu membenamkannya di dadaku. Gadis itu kembali menangis seolah tak terjadi apapun.
Aku menghela nafas, kecewa. Ciuman pertamaku tak begitu berkesan. Aku tak perlu menjadi ahli ciuman untuk tahu bahwa Ara sebenarnya tak punya perasaan apa-apa. Dia melakukan ini hanya untuk sebuah pengalihan tentang apapun yang sedang mengganggunya sekarang. Pada akhirnya, yang bisa kulakukan hanya mencoba tersenyum sambil menenangkannya yang masih terisak pelan.
Hari-hari berikutnya hingga dua minggu kemudian, aku masih tetap ada disampingnya meski tak ada perubahan status antara aku dan Ara.
*
"Hallo Ra. Ini aku udah tunggu di depan tempat les, kamu keluar kapan?"Aku mengedarkan pandangan dengan cemas. Takut kalau Ara sudah melewatiku karena banyaknya siswa yang keluar dari lima menit yang lalu.
"Ya ampun Kak aku lupa bilang. Aku udah keluar dari tadi. Ini aku lagi jalan ke toko roti. Hari ini aku pengen roti melon, tadinya mau bilang kakak nunggu aku di toko roti aja."jawab Ara lewat sambungan telfon.
"Toko roti di dekat perempatan itu?" Aku memastikan.
"Iya kak yang itu. Ini bentar lagi aku sampe."
"Oke."segera kututup panggilan telfonku dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Kuambil sepeda motorku yang terparkir di deretan paling depan. Dengan susah payah aku harus melewati siswa-siswa yang masih berjalan perlan dan mobil yang terparkir di daerah gerbang masuk tempat les.
Akhir-akhir ini aku mulai khawatir karena Ara agak berubah. Meski di sekolah dia terlihat baik-baik saja, tapi dia selalu menolak kalau Theo menawarkan jemputan. Dia hanya mau aku yang datang. Tapi akhir-akhir ini gadis itu mulai suka pergi seorang diri. Jarak antara tempat les dan toko roti cukup jauh bila jalan kaki. Dari yang aku dengar, Ara paling takut pergi sendirian. Dia pernah bercerita kalau dia takut pergi sendiri meski jaraknya cukup dekat karena perundungan yang dia alami saat SMP.
Entahlah aku juga belum tahu separah apa kejadian itu sampai membuat Ara trauma dan ketergantungan dengan Jimmy dan Theo. Yang jelas, karena Theo sudah ada pacar, sekarang Ara mulai keluar dari zona amannya. Melihatnya berubah membuatku agak lega tapi juga khawatir.
Aku memarkir motor di depan toko roti. Kujulurkan leher untuk melihat bagian dalam toko lebih jelas. Toko itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua orang penjaga toko, dan 3 orang wanita paruh baya yang sepertinya datang bersama. Aku celingukan di sekitar toko tapi tak melihat keberadaan gadis itu. Aku segara turun dan masuk ke dalam toko untuk memastikan.
Toko roti itu terdiri atas bagian yang menjual roti dan sebuah café yang dihubungkan oleh dinding kaca. Aku terus menelfon Ara tapi tak kunjung dijawab. Karena ada kemungkinan Ara sedang di toilet toko, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada salah satu karyawan.
"Mbak, beberapa menit yang lalu ada anak SMA rambut panjang hitam ke sini nggak?"tanyaku pada penjaga yang sedang menaruh éclair coklat di etalase.
Dia terdiam sebentar seolah mengingat-ingat. "Ada mas. Tapi pergi sekitar sepuluh menit yang lalu. Yang satu rambut panjang satunya rambut sebahu."
Aku tersenyum. Bukan mereka yang aku cari. "Oh, yaudah makasih ya mba." Aku buru-buru keluar dari toko roti sambil terus menelfon Ara. Sialnya, telfon tak juga kunjung tersambung. Aku mondar-mandir berjalan di sekitaran jalan situ sampai ke sisi jalan yang lain tapi keberadaan Ara tak juga kunjung kutemukan.
Ditengah keputusasaan aku mendengar suara seorang gadis yang familiar. Aku tersentak. Suara itu berasal dari gang kecil yang diapit dua toko tepat di belakangku. Takut gadis itu adalah Ara, aku berjalan dengan hati-hati.
Gang kecil itu membentuk cabang kanan dan kiri di ujungnya. Aku menoleh ke kiri dan mendapati seorang gadis berambut hitam panjang berdiri membelakangiku menghadapi dua orang gadis dihadapannya. Untuk memastikan kalau dia memang Ara, aku mundur selangkah bersembungi dibalik tembok. Tak terlihat oleh mereka, tapi cukup dekat untuk mendengar percakapan ketiganya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...