Kavia Zara Aninditya adalah nama lengkap Ara, dan gadis kecil pemenang kompetisi piano. Ternyata mereka orang yang sama.
Aku tidak yakin akan hal itu sampai paket berisi barang-barangku datang. Ada tiga buah kardus ukuran besar yang berisi buku-buku tentang sains dan kedokteran serta barang-barang yang ibu bilang sebagai 'sampah'. Di dalam kardus yang berisi 'sampah' itulah aku menemukan fakta tersebut.
Sebenarnya 'sampah' yang disebut ibu hanyalah barang-barangku yang menurut beliau tak penting. Kalau saja aku tak berkeras untuk menyimpannya mungkin barang-barang itu sudah beralih ke tempat pembuangan akhir.
Di dalam kardus itu ada sebuah bola basket, lima buah action figure, tiga buku komik, sebuah buku harian yang kutulis saat SD, boneka kelinci berwarna abu-abu dan buku partiture piano.
Aku meraih buku partiture dan membuka tiap lembaran kertas yang sudah menguning. Aku mencoba mengingat-ngingat lagi bagaimana caranya memainkan lagu-lagu itu. Saat sampai ke halaman tengah, aku menemukan sebuah potongan artikel yang dulu sengaja aku gunting dari majalah anak-anak. Artikel tentang pemenang pemenang kompetisi piano bernama Kavia Zara Aninditya lengkap dengan sebuah foto gadis itu yang tersenyum lebar.
*
"Lumayan."aku mengangkat kepala saat mendengar komentar bernada puas dari Theo.
Jimmy tersenyum cerah dan mengacungkan jempolnya padaku. "Bukan cuma lumayan. Tadi udah bagus banget kok."
Aku yang masih merasa bersalah karena bergabung dengan mereka hanya bisa tersenyum mendengar pujian itu. Bisa disebut keberuntungan karena hari ini aku tak membuat kesalahan sedikitpun. Padahal kemarin saat ada Ara di sini, aku terus-terusan membuat kesalahan. Entah salah menekan tuts sampai tempoku yang masih kacau. Sekarang saat gadis itu tak ada permainanku justru sempurna. Sayang sekali.
"Hm... kalau gitu kita udahan sekarang aja ya?" Theo membungkukkan badan saat menyimpan gitar pada hard case dan lalu berdiri dan membawa gitarnya ke pojok ruangan.
"Kecepetan 30 menit dari janji awal."gumam Jimmy. Pemuda itu lalu mengangkat bahu. "Tapi boleh lah. Udah bagus juga kok tadi. Sekali-kali kita latihan lebih cepet."
Mendengar itu aku diam-diam bersiap. Memasukkan kertas-kertas partiture ke dalam tas dan siap menarik jaket dari dalam tas kapan saja. Aku tinggal menunggu salah satu dari mereka mengajakku keluar dari basecamp.
"Lagian nggak niat menang juga kan kita? Nggak usah perfect banget juga nggak papa sebenernya."kata Theo.
"Eh, Lo mau jemput Ara sekarang?"tanya Jimmy saat melihat Theo mengeluarkan jaket dari tas ransel.
Theo menaikan alisnya. "Nggak. Gue mau ketemu Brian. Ara masih lama kan selesainya?"
Jimmy melotot. "Lama apanya! Ini jam setengah 4. Lesnya kan kelar jam setengah 5."
Gerakan Theo memakai jaket terhenti. Dia menganga lebar. "Bukanya hari ini dia les malem?"melihat Jimmy yang malah melipat tangan di depan dada, Theo terlihat panik. " Masa sih?"dengan rusuh Theo merogoh ponsel di saku celannya. Jarinya menscroll dengan cepat. Matanya melebar horror karena panik. "Duh duh gimana nih?"
"Katanya Ara mau beli buku juga. Lo bilang janji mau nemenin."Jimmy mengingatkan.
"Gue kira besok yang dia pulang setengah 5."Theo terduduk lemas di depan Jimmy.
"Ye si dodol."ejek Jimmy puas.
Theo mengangkat kepala lalu menangkupkan kedua tangannya di depan wajah. "Jim..."suaranya terdengar memelas.
"Apaan?" Jimmy justru berdiri, meletakkan kajonnya merapat ke dinding. "Udah sono jemput Ara dulu."dia mengibaskan tangannya mengusir.
Theo memasang wajah memelas. "Nggak bisa. Lo gantiin gue ya. Sekali ini aja. Gue udah janji sama Brian, sama anak-anak yang lain juga. Masa gue nggak jadi dateng."
![](https://img.wattpad.com/cover/230042160-288-k645109.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...