Aku bersama Jimmy menyusul Theo ke UKS saat jam istirahat kedua. Theo sempat ikut pelajaran, tapi karena dia terlihat sangat pucat dan hampir pingsan akhirnya diperbolehkan untuk istirahat di UKS.
Di dalam UKS Theo terbaring di satu ranjang kecil. Ada seorang gadis duduk di sampingnya. Gadis itu Ara.
Ara menatapku dan Jimmy lalu kembali memandangi wajah Theo yang kini nyengir.
Jimmy menghela nafas berat. Wajahnya terlihat tertekan. Dia menarik sebuah kursi dan duduk disamping Ara sementara aku masih berdiri di sisi tempat tidur.
"Habis ini pokoknya harus ke rumah sakit. Sebelum kita lomba suara lo harus balik."
"Bisa nggak sih nggak maksa Theo buat nyanyi dulu?"sahut Ara tajam.
"Tapi kalau Theo nggak jadi ikut gue yang kena. Satu kelas minimal 3 orang Ra yang tampil." Jimmy mengusap wajahnya frustasi. "Lo tau kan gua harus ngelakuin apapun biar diakui?"
Theo yang tak bisa mengeluarkan suara terlihat bersalah.
Aku cukup mengerti perasaan Theo. Tinggal dua hari lagi kami tampil. Meski lomba itu tidak terlalu berarti, tapi status Jimmy sebagai ketua kelas yang nanti dipertaruhkan. Dia harus memastikan kelas kami aktif. Sayangnya, salah satu dari sedikit orang yang mau berpartisipasi justru jatuh sakit begini. Theo mungkin bisa memaksakan diri, tapi kondisinya sangat tidak memungkinkan. Mustahil menyanyi dalam keadaan suara hilang begitu.
Ara menghela nafas berat lalu menatap Jimmy jengkel. "Suara ini orang ilang. Kalaupun balik, ngomong aja pasti sakit. Apalagi nyanyi."
Theo menunjuk Jimmy dengan telunjuknya lalu mengepalkan tangan di depan mulut. Yang aku artikan sebagai 'lu aja yang nyanyi'.
Jimmy menggeleng lemah. "Kagak bisa! Suara gue fals."
"Aslinya bisa sih dilatih biar nggak fals selama lo dibiasain sama nada."usul Ara
"Ya kali Ra. Butuh latihan berapa lama sampai gue..."
"Waktunya nggak ada."Ara menambahkan sebelum protes Jimmy makin panjang.
"Duh gimana dong. Anak-anak kelas gue mana nggak ada yang mau gabung lagi. Egois semua. Dikira mereka doang kali yang kelas 12."Jimmy memajukan bibir bawahnya kesal.
"Hm... sebenernya ada satu orang yang harusnya bisa gantiin Theo." Untuk pertama kalinya, Ara menatapku intens dengan mata besarnya. Hal ini juga diikuti oleh Theo dan Jimmy. Aku yang ditatap begitu hanya bisa menelan ludah. Jangan bilang... orangnya aku?
*
"Lo pasti bisa Kaf." Jimmy menyemangatiku.
Aku memaksakan senyum sebelum duduk di depan piano.
H-2 latihan. Kali ini latihan diadakan malam hari karena Ara bersikeras ingin ikut. Sesudah aku jemput dari tempat les, Ara langsung mengajak latihan karena Theo masih demam dan belum bisa datang.
Ara memutar kursi yang biasa diduduki Theo agar menghadap ke arahku dan Jimmy. Dia mengambil gitar milik Theo dan memangkunya. Aku agak kaget karena tak menyangka Ara bisa memainkan gitar juga. "Ayok mulai. Gue percaya kok Kak Kaf pasti bisa."Ara berkata tenang.
Aku menelan ludah. Rencana yang disebutkan Ara tadi siang adalah aku yang menjadi vokalis. Aku, yang seumur hidup ini tak pernah bernyanyi di depan orang lain dipaksa untuk menyanyi. Tadi siang aku tak langsung pasrah. Aku sempat menolak dengan keras. Sayangnya, penolakanku juga tertolak.
Ara mengangkat dagu memberi kode sebelum mulai memetik gitar. Aku mengangguk lalu menekan tuts piano dan Jimmy mengikuti kemudian. Akhirnya, bagian menyanyi tiba. Aku mengambil nafas dalam lalu menyanyikan lagu lost star. Meski tak yakin dengan suaraku, aku mencoba tetap menyanyikan dengan fokus. Aku sengata menatap tust piano agar tak bertatapan dengan Ara ataupun Jimmy.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...