Bab 21

167 23 5
                                    

Aku membawakan nampan berisi dua buah cangkir berisi teh vanila dan kopi yang masih mengepulkan asap beserta sebuah piring berisi dua buah roti melon untukku dan Ara. Aku sengaja membawa Ara yang sudah terlihat tenang, ke café toko roti kembali agar dia bisa bercerita dengan terbuka. Kupilihkan meja kecil yang menghadap jalan agar Ara bisa lebih santai.

Aku meletakan nampan itu di atas meja sebelum menarik kursi untuk duduk. Gadis itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis. Kuambil cangkir berisi teh vanila, lalu kudorong cangkir itu mendekati Ara. Kami duduk bersebelahan, menghadap dinding kaca.

Tangan mungil Ara meraih cangkir dengan hati-hati. Dia meniup uap yang terbentuk di atas teh sebelum menyesapnya pelan. Wajahnya yang pucat mulai memerah seiring dengan cairan teh hangat yang turun melewati tenggorokannya.

Aku ikut menyesap kopiku sambil memperhatikan Ara yang masih menatap kosong ke arah depan.

"Aku nggak papa kak."tanpa memandangku Ara tersenyum tipis. Diletakkannya kembali cangkir itu ke atas meja. "Mereka yang pernah ketemu sama kakak itu dulu terus ngira kakak pacarku. Kakak inget?"kali ini dia menatapku sebentar lalu tatapannya beralih ke roti melon yang kuletakan di tengah meja.

"Aku nggak begitu inget tapi kayaknya iya."Jujur, aku ingat peristiwa itu tapi lupa orangnya yang mana.

Dia agak menunduk, membuat rambut panjangnya menutupi sebagian wajah dari samping. Bibirnya sedikit tertarik. Aku harap senyumnya bukan pura-pura.

Cukup lama Ara terdiam sampai akhirnya dia mulai memakan kedua roti melon itu dengan cepat. Dia juga menghabiskan teh vanilanya lalu meminta aku mengantarkannya pulang. Setelah diam di seperempat perjalanan, akhirnya, tanpa perlu mendesak Ara mulai bicara. Di sebuah perempatan dengan lampu merah yang tak kunjung berganti, Ara menceritakan awal mula konfliknya, hingga dia yang selalu bersama Theo dan Jimmy.

*

5 tahun yang lalu

Ara berumur 13 tahun waktu itu. Di usia semuda itulah dia mulai mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan. Kakak laki-lakinya yang berumur 16 tahun harus melanjutkan kompetisi dan tour konser piano di daratan Eropa ditemani ayahnya, sementara Ibu Ara sudah meninggal ketika gadis itu berusia 6 tahun. Ara yang sudah berhenti bermain piano semenjak kecurangan itu terpaksa ditinggal di Indonesia untuk melanjutkan sekolah. Dia harus pindah kota untuk dititipkan di rumah adik ibunya yang merupakan ibu Theo.

Theo yang tidak punya saudara senang sekali kedatangan Ara. Terlebih keduanya sudah sering bermain bersama sejak kecil. "Lo bakal gue jagain disini."kata Theo penuh tekad. Pemuda yang baru kelas 8 SMP itu menyunggingkan senyum kotak yang menurut Ara sangat menenangkan.

Dan begitulah, setiap berangkat sekolah Ara selalu bersama dengan Theo, hingga dia kenal dengan sahabat kaya Theo yang bernama Jimmy. Ara tak tahu kalau kedua pemuda itu sangat populer di kalangan siswi angkatannya.

Kehidupan awal sekolah Ara cukup menyenangkan. Dia punya teman tapi teman terdekatnya adalah Aira. Seorang gadis cantik dan dikenal pintar karena mendapat peringkat satu saat ujian masuk. Berbeda dengan Ara yang cantik namun terlihat polos dan sederhana, Aira memiliki kecantikan yang terlihat sangat anggun. Mungkin itu karena rambut panjangnya yang berwarna coklat alami dan dibuat bergelombang di bagian bawah, atau karena jepit mutiara yang selalu menjepit rambut sisi kiri, atau karena senyumnya yang lembut. Kesempurnaan Aira semakin bertambah saat Ara tahu kalau gadis itu termasuk anak orang terkaya di kota.

"Tuh si Rama liatin lo lagi Ai."teman Aira dari kelas sebelah bernama Mayda menunjuk seorang anak laki-laki yang melirik mereka dengan sembunyi-sembunyi. Meskipun dibilang sembunyi-sembunyi tapi sangat ketara sekali. Ara yang tergolong gadis tidak peka saja bisa sadar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ADAGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang