Bab 19

182 31 11
                                    

Keesokan harinya, aku sampai ke basecamp paling terakhir karena sepulang sekolah harus pulang dulu berganti baju. Begitu membuka pintu aku melihat Theo dan Jimmy sedang makan siang bersama dengan Ara. Seolah tidak ada yang pernah terjadi, Ara bergabung lagi dengan kami secara alami. Saat pertama datang di jam istirahat tadi, gadis itu sama sekali tak terlihat canggung. Dia juga sudah banyak tersenyum dan bicara terutama denganku dan Jimmy.


Kedatangan tiba-tiba Ara tak mengubah jadwal kami berempat sekarang yaitu merekam video penampilan live. Sebenarnya video ini rencananya direkam setelah rekaman suara selesai, tapi sempat tertunda karena Ara yang tiba-tiba menjaga jarak. Jimmy sampai pasrah dan mau merekam sendiri hari ini. Secara kebetulan Ara muncul diwaktu yang tepat.


"Udah makan belum Kaf?" Theo menggeser posisi duduknya di sofa panjang untukku. Jimmy ikut menggeser posisinya sehingga kami bertiga duduk berjejeran.


"Udah tadi."


"Kita rekaman satu kali take aja ya semuanya." Ara yang duduk di sofa kecil depan Theo membereskan bekas makanannya dan sekarang beralih ke kamera milik Jimmy yang ada di atas meja.


Setelah Jimmy menyelesaikan makannya kami bertiga menuju alat musik masing-masing. Aku memanaskan pita suara sebelum sesi rekaman dimulai. Ara yang berdiri di belakang kamera tersenyum seolah memberiku semangat.


"Udah siap?" tanya Ara.


Aku mengangguk.


Ara mengedarkan pandangan ke kami bertiga sebelum berkata. "Oke, mulai."

*

Rekaman benar-benar dilakukan satu take. Kami bertiga segera membereskan alat musik, sementara Ara masih berkutat dengan kameranya. Gadis itu berjalan pelan mejunu tasnya di sofa Panjang sambil mengeluarkan memory card dari kamera dan memasukannya ke kantong kain kecil sebelum dimasukkan ke dalam saku sepan tas.

"Mau langsung ke tempat les apa gue anter ke kos dulu?"itu suara Theo, yang bertanya pada Ara.

Ara terlonjak sedikit, memutar badannya lalu menggeleng cepat. "Nggak usah nganter gue, gue bareng kak Khafa."

"Iya The. Gue yang nawarin nganter Ara tadi." Aku yang masih sibuk membereskan kabel microphone menimpali.

Theo menatapku dan Ara bergantian. Ekspresinya sulit sekali kutebak. Dia lalu mengangkat bahu, bangkit dari posisi duduknya dan mengambil tasnya yang diletakkan di lantai lalu pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi. Jimmy yang selesai membereskan drumnya terbengong beberapa saat karena Theo pergi tanpa pamit. "Kenapa tu orang?"

Aku mengangkat bahu sementara Ara menghampiri Jimmy untuk menyerahkan kamera beserta tasnya.

Jimmy memiringkan kepala. "Yaudah Kaf, bantuin gue bawain tripod!"Aku mengambil tripod yang sudah dilipat Ara lalu menyusul Jimmy berjalan ke luar ruangan. Meski sudah lama ke rumah Jimmy aku belum pernah sekalipun masuk ke rumah utama karena selama ini aku langsung ke basecamp.

Rumah Jimmy sangat besar, tiga kali lebih besar dari rumahku. Ditengah ruang keluarga yang luas ada tangga melingkar megah yang hanya bisa aku lihat di film-film. Jimmy menaiki tangga itu, menuju kamarnya di lantai dua.

Lantai dua terdiri atas sebuah ruangan luas dengan sofa dan tv besar bernuansa warna earth tone beserta dua kamar tidur. Jimmy membuka pintu kamar yang paling dekat dengan tangga. Begitu pintu terbuka, terpapanglah sebuah kamar dengan nuansa gelap, sangat luas, dan trendy. Ada ranjang besar, sebuah lemari kayu kokoh dan seperangkat PC game.

"Taro situ aja."dia menunjuk rak yang ada di samping PC.

Aku berjongkok meletakkan tripod itu dengan hati-hati. Saat berjongkok, pandangku teralihkan pada sebuah foto berbingkai yang dipajang di rak kedua dari bawah. Foto itu menampilkan 3 orang berseragam SMP. Jimmy, Ara, dan Theo yang berdiri membelakangi gerbang sekolahnya waktu SMP dengan latar belakang langit senja. Ara yang berdiri ditengah tersenyum lebar dan terlihat sangat cerah disana. Senyuman yang belum pernah aku lihat selama ini.

"Itu foto pertama waktu Ara pertama kali pindah ke kota ini."

"Eh?"

Jimmy mendekat, lalu mengmbil foto itu. Matanya menerawang sambal tersenyum tipis. "Hari pertama Ara sekolah disini. Gue kenal dia sebagai sepupunya Theo. Gue juga udah lama banget nggak liat dia bahagia kaya gini. Sejak insiden itu Ara jadi nggak berani lagi deket ke orang lain selain gue sama Theo. Gue seneng akhirnya dia mau terbuka sama lo yang sebenernya orang asing."

"Insiden?"

Jimmy meletakkan pigura itu kembali di tempatnya. "Lo jagain Ara baik-baik, gue mau langsung siap-siap les."


*

Aku kembali ke basecamp seorang diri sambil memikirkan insiden apa yang telah terjadi pada Ara. Apakah mungkin ini berkaitan dengan teman-teman lama yang Ara hindari? Aku menggelengkan kepala. Tak ada gunanya menebak-nebak. Kalau soal ini aku harus bertanya langsung pada orangnya.

Sayangnya, kalimat yang sudah aku susun buyar begitu saja waktu mendapati Ara duduk tertunduk menghadap pintu. Tangannya menggenggam ponsel yang dia letakan di atas paha. Saat mendengar pintu dibuka olehku, dia menaikan kepala perlahan. Wajahnya memerah, dengan mata berkaca-kaca.

Aku berjalan cepat, lalu duduk disampingnya. "Ra? Kamu kenapa?"

Gadis itu membenamkan wajahnya di lengan yang dia tumpu pada lutut. Terdengar isakan pelan.

"Kamu kenapa Ra?"tanyaku panik. Ini pertama kalinya aku melihat seseorang menangis, terlebih orang yang aku sukai.

Ara tak menjawab, dan hanya menangis. Kuberanikan diri melingarkan lenganku dari belakang punggungnya, lalu mengusap pundaknya perlahan. Secara alami gadis itu menggeser posisi duduknya mendeketiku. Lalu kubiarkan kepalanya bersandar dan menangis didadaku. Badanku panas dari ujung kepala dengan ujung kaki. Terlebih saat aroma rambut dan tubuhnya dapat aku hirup dalam posisi sedekat ini. Kutarik nafas panjang untuk memenangkan diri. Ara sedang menangis, dan tak sepantasnya aku berfikir yang tidak-tidak. Apalagi aku bisa merasakan basah menembus kemejaku yang tipis.

Aku masih mencoba menenangkan diriku dan Ara saat gadis itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Gerakan yang dia lakukan berikutnya kemudian berlangsung cepat sekali sampai aku tak bisa mengolahnya dalam otak. Ara makin mendekatkan wajahnya ke wajahku, tangan mungilnya meraih belakang kepalaku, dan mendorongku mendekatinya. Dia memejamkan matanya yang juga kulakukan begitu nafasnya menerpa wajahku. Sebagai laki-laki, aku tak akan bisa menolak saat bibir tipis lembutnya bertemu dengan milikku.


To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued....

Jangan lupa vote, follow akun ini, ig sama youtubeku kalau kalian suka cerita ini ya...

Maaciw...

ADAGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang