Bab 11

197 40 1
                                    

Yuk difollow dulu akun ini hehehe
.
.
.

Aku pulang dari rumah Jimmy lebih awal dari biasanya. Tadinya kami akan rapat untuk menentukan genre band, tapi rapat itu terpaksa ditunda karena les Jimmy dimajukkan jadwalnya. Anak itu memang memiliki jadwal belajar yang sangat padat. Jam belajar dengan tentor dimulai jam 5 sore sampai sepuluh jam sepuluh malam. Ditambah mengerjakan PR dan tugas-tugas Jimmy baru bisa tidur jam dua belas malam. Begitu keluhnya.

Jadwal les yang sudah dirancang Ibuku ternyata tak ada apa-apanya. Dua jam setiap hari masih terbilang cukup ringan. Apalagi mengingat aku sudah pernah mengalami yang lebih parah saat tinggal dengan Ibu. Sepertinya kali ini Ibu agak melunak karena aku tinggal dengan ayah. Meski begitu tetap saja dia yang menjadi pengontrol utama. Semua tentor yang mengajarku dipilih langsung oleh Ibu. Untuk hal ini aku tak keberatan. Lagipula lesku diadakan secara virtual.

Setelah mandi dan berganti baju aku sudah siap di meja belajar. Karena lesku masih satu jam lagi, aku hanya bisa menunggu. Sambil menunggu, hal pertama yang aku lakukan adalah membuka laptop, memutar lagu lalu membuka buku tugas. Ada soal fisika dan matematika yang belum kujawab. Memang bukan untuk besok, tapi tak ada salahnya menjawabnya sekarang.

Aku mengambil pensil dari tas yang kuletakan disamping meja belajar. Sambil menopangkan dagu aku mencorat-coret buku, mulai menghitung.

Saat mulai menghitung soal matematika terakhir, pintu kamarku diketuk pelan. Aku meninggalkan meja belajarku untuk membukakan pintu.

Ayah berdiri dibalik pintu, masih mengenakan pakaian kerjanya. Sepertinya beliau baru saja pulang, seperti biasa. "Sudah makan?"

Aku mengangguk.

"Makan dimana?"

"Tadi di luar."

Ayah mengusap belakang kepalanya lalu tersenyum. Saat tersenyum keriput di sekitar matanya menjadi terlihat sangat jelas."Tadi ayah beli ice cream cake. Rasa red velvet."

Aku mengangguk. "Nanti Khafa ambil."

"Udah mulai lesnya?"

Aku menggeleng. "Setengah jam lagi."

Ayah menepuk lenganku kilat. "Jangan terlalu memaksakan diri."

Aku tak tahu harus menjawab apa. Jelas-jelas ayah yang lebih memaksakan diri. Ayah terlalu banyak bekerja sampai lingkaran hitam matanya menebal. Pipinya juga makin cekung hari demi hari.

Selama beberapa detik kami berdua hanya berdiri dalam diam. Sepertinya Ayah juga bingung bagaimana mengakhiri perbincangan singkat ini. Kecanggungan yang dibentuk karena terpisah jarak tak bisa semudah itu dihapuskan.

"Ayah juga sebaiknya istirahat."kataku akhirnya.

Wajah Ayah terlihat lega. Setelah mengatakan hal yang sama, Ayah berbalik badan. Beliau berjalan menuju kamarnya sementara aku masih berdiri ditempat, memandangi punggungnya yang menjauh.

*

"Kita rapatnya sekarang aja."kata Jimmy.

Aku, Theo, dan Jimmy sedang ada di balkon di samping lab sains. Ara datang tak lama kemudian dengan membawa sekotak coklat dan empat minuman kaleng.

"Nanti aja pas di rumah lo."usul Theo. Dia mengambil satu kaleng jus, membukanya lalu mengulurkan pada Ara yang duduk disampingnya.

Jimmy menipiskan bibir. "Kayaknya nggak bisa." Wajahnya terlihat murung.

"Kenapa?"

"Hari ini orangtua gue dateng. Sampe seminggu."suara Jimmy melemah.

Theo dan Ara saling pandang lalu menghela nafas berat. Aku menaikan alis karena tak tahu letak dimana masalahnya.

ADAGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang