Aku memasuki ruang tata usaha karena tak tahu harus masuk ke kelas yang mana. Seorang wanita paruh baya dengan kacamata persegi menyambut ramah lalu mendengarkan penjelasanku. Beliau menyuruhku duduk di sofa sebelum pergi keluar ruangan, meninggalkanku seorang diri di ruangan itu.
Sekolah ini lebih kecil dari pada dugaanku. Mungkin karena letaknya di sebuah kota kecil, tak seperti sekolahku yang lama. Meski begitu, ayah bilang sekolah ini yang terbaik di seluruh kota. Katanya hanya anak-anak tercerdas yang bisa bersekolah di tempat ini. Sepertinya aku harus percaya hal itu karena sepanjang koridor dan dinding ruangan ini dihiasi deretan piala.
Aku sedang melamun sambil mengamati deretan piala di ruang TU saat wanita paruh baya itu masuk kembali bersama guru laki-laki yang sudah telihat berumur. Beliau memperkenalkan diri sebagai Pak Arif, guru bahasa jawa. Pak Arif akan menjadi wali kelasku selama disini. Setelah perkenalan singkat, Pak Arif mengajakku ke dalam kelas karena tak ada waktu lagi. Bel masuk kelas sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu.
"Pindah dari SMA mana?"
Aku menyebutkan sekolah asalku sampai semester lalu.
"Pindah kesini karena?"
"Ikut orang tua."
"Padahal sekolah lama kamu bagus. Bisa lebih gampang masuk universitas kalau ijazahnya dari sana. Kenapa nggak dilanjutin aja sampai lulus di sekolah lama?"
Aku hanya mengulas senyum sebagai jawaban. Menjadi anak baru di kelas 12 memang bukanlah hal yang wajar. Kalau boleh memilih aku juga akan tetap tinggal disana. Masalahnya itu bukan kuasaku untuk menentukan. Malas juga kalau menjelaskan panjang lebar setiap ada yang berkomentar begitu.
Pak Arif berhenti di depan sebuah kelas dengan pintu tertutup. Kelas 12 IPA 1. Setelah mengetuk pintu, Pak Arif menyuruhku menunggu di luar sementara beliau masuk ke dalam kelas. Dari celah pintu aku melihat Pak Arif sedang menjelaskan situasinya kepada seorang wanita muda yang duduk di meja guru. Guru muda itu mengangguk beberapa kali, lalu melihat ke arahku sambil tersenyum. Pak Arif berbalik badan lalu melambaikan tangan, menyuruhku masuk.
Aku maju dengan langkah santai. Toh ini bukan pertamanya kalinya aku pindah sekolah. Aku sudah terbiasa mendapat sorakan, ejekan, tatapan penuh minat dan reaksi aneh lainnya.
Aku berdiri dengan penuh percaya diri, sambil mengamati reaksi mereka. Senyumku menghilang. Baru pertama kali aku melihat reaksi seperti ini. Mereka terlihat sama sekali tak peduli dengan keberadaanku. Tak ada wajah antusias, mengejek, jahil ataupun penuh tanya yang biasa aku lihat. Mereka hanya melirikku sekilas lalu menunduk lagi, sibuk dengan buku. Hanya ada beberapa siswa yang masih menatapku dengan wajah datar.
"Ayo kenalan dulu!" Pak Arif mempersilahkan,
"Hallo." suaraku bahkan terdengar sumbang oleh telingaku sendiri. "Namaku Khafa Kevandra. Salam kenal."
Kehingan menyusul kemudian. Sudah kuduga. Tak ada yang tertarik dengan keberadaanku disini.
*
Aku duduk di kursi paling depan, di samping pemuda putih berpipi bulat dan mengenakan kacamata persegi. Wajahnya terlihat polos seperti anak kecil. Kalau kuingat lagi dia salah satu dari sedikit orang yang tadi memperhatikan perkenalanku dengan wajah datar.
Dia terus menatapku dengan wajah datar lalu tiba-tiba tersenyum lebar saat aku duduk di kursi sebelahnya. Saat tersenyum matanya membentuk garis, hampir terpejam. Aku membalas senyumnya kikuk lalu menanyakan pelajaran apa yang sedang berlangsung. Dia bilang matematika, masih sambal tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...