Aku tersenyum kecil saat mengingat kembali kejadian di atas motor. Saat tangan mungil Ara memeluk pinggangku dengan erat karena mengira aku adalah Theo. Mungkin karena saat itu dia sangat kesal sampai tak bisa membedakan bentuk tubuhku dengan Theo. Meski bagiku hal ini sangatlah lucu dan mendebarkan namun untuk Ara, sepertinya kejadian ini sangat memalukan.
Begitu kujelaskan kenapa aku yang datang menjemputnya, diawal dia tak mau kuantar ke toko buku. Gadis itu bersikeras sekali untuk segera pulang.
Terpaksa aku harus memaksa. Aku tak mau diperkarakan Theo. Lagipula kata Theo, Ara sangat suka buku. Jadi, aku akan membawanya (dengan mengikuti map) ke tempat yang gadis itu suka.
Saat aku memarkirkan motor di parkiran toko buku, raut wajah Ara sulit sekali dibaca. Apakah dia marah? Atau kesal? Atau dia masih malu? Entahlah.
Aku hanya mengikuti langkahnya dari belakang.
Ara berjalan pelan menuju sebuah rak berisi buku-buku puisi dan berhenti disana. Jarinya terulur menyisir punggung buku dengan mata memicing. Sesekali dia terhenti lalu mengeluarkan buku tersebut.
Aku yang tak mau mengganggunya memilih mengamati dari rak sebelah yang berisi buku-buku pengembangan diri. Tempat yang sangat tepat untuk mengamati gerak-gerik gadis itu.
Meski sempat khawatir, aku mengehela nafas lega. Beberapa saat bertemu dengan deretan buku, lihat saja gadis itu sekarang. Dia memang tak tersenyum, tapi matanya berbinar. Aku jadi penasaran. Kenapa gadis kecil yang dulu sangat ceria bisa tumbuh menjadi dirinya yang pendiam dan menjaga jarak?
Kuletakkan buku yang kupegang di tempat semula, dan kembali memiringkan kepala untuk melihatnya. Aku menelan ludah. Kupalingkan wajahku secepat mungkin. Barusan, Ara melihat ke arahku dan jelas sekali netranya menuju padaku. Rasanya malu sekali terpergok mencuri pandang. Aku memilih pergi dari rak pengembangan diri sebelum rasa panas merambat sampai telingaku.
Satu jam kemudian Ara masih juga belum selesai. Selagi berputar-putar, aku sempat melewati rak tempatnya berada beberapa kali. Ara masih berada di tempat yang sama, membaca buku yang segelnya terbuka. Sebuah buku bersampul biru tua yang entah apa judulnya.
Aku sudah berkeliling toko buku dua kali dan kini tak tahu lagi harus melihat-lihat apa. Aku memutuskan melihat-lihat buku best seller. Rak buku yang paling dekat dengan kasir agar saat Ara selesai membayar buku dia tak perlu mencariku.
Aku tersenyum saat sebuah lagu yang sedang aku suka akhir-akhir ini diputar. Sambil menyenandungkan lagu itu pelan, kuraih sebuah buku lalu membaca bagian belakangnya tanpa minat. "Find Yourself"
"Kak."
Saat aku berbalik badan, Ara sudah ada di belakangku dengan membawa satu plastik besar penuh buku.
*
"Ekhem. Istirahat bentar dulu ya?"kata Theo sambil mememegangi lehernya.
Aku dan Jimmy saling bertukar pandang lalu mengangguk.
Sekarang H-3 latihan. Secara umum semuanya sudah membaik. Lebih tepatnya aku yang membaik. Selama memainkan lagu aku sama sekali tak melakukan kesalahan. Jariku juga sudah merasa nyaman. Tapi kali ini yang bermasalah adalah Theo.
Tadi dia datang dengan wajah pucat. Suaranya juga agak serak. Jimmy berikeras menunda latihan, tapi Theo tetap memaksa. Katanya kami harus tampil semaksimal mungkin meski lomba tingkat kelas ini bukan berarti apa-apa.
Jimmy menepuk-nepuk punggung Theo. "Udah, lo istirahat aja."
Masih sambil memegangi leher dan sesekali berhedam, Theo berdiri lalu berjalan menuju sofa. Aku mengikuti Theo duduk di sofa yang sama sementara Jimmy menuju pantry. Tak lama kemudian Jimmy datang membawa dua kaleng jus dingin. Satu kaleng dia serahkan padaku sementara satunya lagi langsung ditenggak oleh Jimmy.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Novela JuvenilAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...