chapter 25

7.1K 568 13
                                    

Sebulan sudah Maeda dan Iro kembali ke Indonesia. Keseharian mereka begitu tenang dan damai. Mungkin ini yang disebut ketenangan sebelum badai. Pagi itu Surya sedang menimang Tatsuya agar tertidur. Sejak semalam Tatsuya rewel dan tak bisa tidur. Tidak biasanya dia sangat rewel. Badannya yang mulai hangat membuat Surya panik.

"Tuan, sepertinya Tatsuya demam..." kata Surya pada Iro dan Maeda yang sedang memotong kayu bakar di depan pondok. Maeda bergegas masuk.

"Apa? Kita harus membawanya ke rumah sakit!" Maeda panik karena ini pertama kalinya Tatsuya demam. Jelas ide itu yang pertama muncul dalam kepalanya.

"Tuan, kita tidak punya uang untuk itu." kata Surya lemah. "Mari kita tunggu Bram pulang dari pasar, mungkin dia tahu obat yang bisa digunakan."

"Sial! Harusnya aku membawa banyak uang kemari." sesal Maeda.

Untuk apa punya banyak harta di Jepang sedang istri dan putranya dalam keadaan yang menyedihkan begini. Ia yang tak bisa membawa mereka pulang ke Jepang dan malah hidup tragis di sini. 

"Maaf...Surya." ucapnya lirih.

Bram yang baru kembali bersama Romi segera masuk setelah diberitahu oleh Iro.

"Tatsuya demam?" tanyanya sambil memegang kening Tatsuya yang memang panas.

"Aku bisa membuatkan jamu untuk menurunkan demam tapi kamu Surya yang harus meminumnya. Dia akan meminumnya juga saat menyusu padamu." jelas Bram.

"Iya baiklah aku mau. Bisakah kamu membuatnya sekarang?"

"Tentu saja."

Bram dengan cepat membuatkan jamu itu sekaligus memasak. Iro menemani Romi bermain air di sungai. Sedang Maeda mencoba bergantian dengan Surya menenangkan Tatsuya. Tanpa mereka sadari aktifitas mereka diawasi dari kejauhan.

"Ayo kita makan dulu." ujar Bram sambil membawa masuk nasi dan lauk pauk yang ia dapat dari pasar tadi. Karena mereka tak punya uang untuk membeli. Mereka menukarkannya dengan bahan yang mereka temukan di hutan misal tanaman obat, bunga liar, hewan liar atau kayu bakar. Saat itu disebut sistem barter.

"Baiklah."  jawab yang lain serempak.

Tatsuya sedikit tenang setelah menyusu dari Surya yang telah meminum jamu.

"Dia tidur?" tanya Maeda.

"Sssttt!! Iya dia tidur." bisik Surya.

Akhirnya setelah semalaman tak mau turun dari gendongan Surya, Tatsuya bisa terlelap dalam ayunannya.

"Istirahatlah sayang. Kamu pasti lelah." kata Maeda.

"Tidak bisa, tuanku. Aku harus membantu Bram. Dia sudah memasak sendirian hari ini"

"Aku yang akan membantunya." kata Maeda.

"Tak apa, Surya. Kamu bisa tidur dulu. Lihat lingkaran hitam di bawah matamu itu." sahut Iro.

"Benarkah?"

"Kami yang akan membantu Bram." tambah Iro sepaham dengan Maeda.

"Aku tak perlu bantuan kalian berdua." sahut Bram.

Akhirnya Surya menurut untuk istirahat dan tidur. Pagi berganti siang, siang berganti malam. Hanya derikan jangkrik yang terdengar. Surya, Maeda, Iro,Bram dan Romi sedang makan malam dengan tenang saat bunyi gaduh mulai terdengar dari kejauhan. Itu adalah beberapa penduduk yang membawa obor dan kentongan.

"Keluar! Ayo keluar!"

"Dasar mata-mata, keluar kalian!"

"Keluar atau kami bakar pondok ini!"

"Kita bunuh saja mereka!" teriak seorang di antaranya.

"Jepun. Keluar kalian!" teriak yang lain.

Mereka berhenti tepat di depan pondok dan membuat keributan. Sepertinya mereka adalah penduduk yang mengawasi dari kejauhan. Mereka curiga dengan keberadaan Iro dan Bram. Jelas seorang diantara mereka ingat itu adalah Jenderal Jepang dan ajudannya. Kenapa mereka masih berada di sini. Mereka mengira keduanya adalah mata-mata.

Sedang di dalam Surya ketakutan sambil memeluk erat Tatsuya. Bram juga menggendong Romi. Iro dan Maeda dengan sigap keluar dan menutup pintu. Mereka menghadang pintu masuk agar kumpulan itu tak masuk.

"Kami sudah keluar!" Maeda berdiri dengan tegak. Tak ada rasa gentar sedikit pun dalam matanya. Begitupun Iro. Luka mereka yang sudah sembuh jelas menunjukkan wajah mereka yang seorang Jepang.

"Bedebah kalian! Masih bersembunyi di sini ternyata! Dasar mata-mata"

"Kami bukan mata-mata!"

"Alah alasan, kami ingat jelas wajah kalian Jenderal Jepang dan ajudannya. Iblis kejam! Sudah dua minggu ini kami mengawasi kalian."

"Kalau kalian mengawasi harusnya kalian tahu kami tidak berbuat apapun. Kami hanya tinggal saja. Secepatnya kami akan pergi."

"Tidak bisa! Kalian harus ikut kami! Kami akan membawa kalian ke pemerintah. Biar pemerintah yang memutuskan!"

Sepertinya adu mulut saja tidak cukup. Seseorang mulai melempar batu karena kesal. Tentu saja hal ini memicu yang lain untuk ikut juga. Darah segar mengalir di pelipis Maeda. Sedang Iro terluka pada wajahnya. Tubuh mereka juga. Orang-orang itu mulai mendekat tapi tiba-tiba saja langit malam yang gelap bergemuruh dan terdengar bunyi dentuman keras dari arah alun-alun. Tanah juga ikut bergetar membuat semua orang terkejut dan terjengkang ke tanah.

"Bom... Itu bom.." ujar mereka ketakutan. Bukankah mereka sudah merdeka? Kenapa masih ada bom?
Dengan ketakutan kerumunan itu membubarkan diri berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Maeda dan Iro sedikit bernafas lega dan segera masuk ke dalam.

"Kalian tidak papa?" tanya Maeda pada Surya dan Bram. Harusnya mereka yang bertanya karena dua orang itulah yang terluka karena lemparan batu.

"Kamu berdarah!" Surya panik. Tentu saja Tatsuya jadi rewel karena merasakan suasana yang tak nyaman.

"Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil."

"Di sini sudah tidak aman. Ayo kita pergi saja malam ini. Kita selamat karena ada bunyi bom. Tapi bom milik siapa itu?" kata Iro.

"Jika Jepang mereka tak mungkin kembali. Apa itu Belanda?" Maeda menyimpulkan.

"Aku akan menggendong Tatsuya agar kamu bisa berjalan lebih cepat."

"Baiklah."

"Sini Romi juga." pinta Iro.

Tak lupa Bram memasukkan makanan mereka untuk persediaan. Bram yang memimpin jalan melewati hutan yang biasa ia jelajahi. Mereka mencari jalan memutar cukup jauh menuju pelabuhan. Hanya itu kesempatan mereka, jika beruntung mereka bisa ke Jepang menumpang kapal. Mereka berhenti  di pelabuhan. Hanya kapal-kapal ikan milik nelayan yang berada di sana. Tapi ada satu kapal ikan besar yang akan berlayar ke Jepang.

"Bisakah kami menumpang?" tanya Bram hati-hati.

"Hmm... Berapa orang?"

"Empat orang, balita dan bayi."

"Ada bayi?" pemilik kapal sepertinya ragu-ragu. Matanya meneliti mereka dari atas ke bawah. Iro dan Maeda menghadap arah lain. Sedang Surya yang gugup. Dilihatnya bayi yang rewel itu. Tentu saja pemilik kapal jadi tak tega.

"Baiklah. Tapi baunya sangat amis dan tak ada cukup makanan. Bisakah kalian membeli sendiri. Kapal akan berangkat sebentar lagi."

"Bisa. Kami sudah membawanya." Bram menunjukkan bawaannya dalam wadah besar yang ia taruh di atas kepalanya.

"Ya sudah cepat naik."

Mereka berempat naik dengan tergesa-gesa. Keberuntungan ini jarang terjadi. Untungnya pemilik kapal sangat baik. Jangkar di angkat dan kapal besar itupun berlayar menjauh dari daratan. Daratan yang terlihat sedikit kacau dari kejauhan. Mereka bisa bernafas lega. Semoga segera sampai di Jepang.

------------

Maaf kalau makin absurd. 🙂
Happy reading
Jangan lupa vote dan komennya yaa😄
Makin banyak yang komen, makin seneng loh aku 😊
Jumpa lagi di next chapter 🐝

DARK LOVE (BL) (Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang