17.

23 5 1
                                    

Selamat membaca!

Selamat membaca!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

__

Entah kesialan atau apa, hari ini Haura pulang telat, sudah gelap diluar sana. Dan dia yakin pasti tidak ada orang lain selain dirinya yang baru keluar dari sekolah. Terlihat matahari mulai menenggelamkan dirinya.

Haura mempercepat langkahnya menuju tempat pemberhentian bus, angkot yang biasa ia tumpangi untuk pulang pasti sudah tidak ada lagi, jadi jalan satu satunya adalah menaiki bus. Semoga saja busnya juga belum pergi.

Melihat ke arah jam tangannya, sudah pukul 18.45 busnya pasti sudah pergi sekitar sepuluh menit yang lalu. Sialan! Mana batrei ponselnya mati.

Rasanya ia ingin menangis, semoga ada orang yang dikenalnya lewat sini, agar ia bisa meminta tumpangan.

Haura menduduki dirinya di halte bus, sambil sesekali menghapus air matanya yang jatuh, ini karena Tiara. Anak manja itu membuatnya harus membersihkan perpustakaan sekolah hingga selarut ini. Lihat saja akan Haura balas nanti!

Rambutnya penuh dengan debu-debu saat membersihkan buku di perpustakaan, belum juga badannya yang sudah lengket dan berkeringat. Dia seperti gembel sekarang.

Dengan gusar Haura terus menghapus air matanya, berharap ada seseorang yang akan menjemputnya.

“Nangis?” suara familiar itu tertangkap di pendengaran Haura.

Haura mengangkat wajahnya, terlihat Nathan yang duduk di atas motornya masih dengan seragam sekolahnya. Entah di keberuntungan atau kesialan bagi Haura.

“E-engga!” elaknya, ia kembali menunduk menghindari tatapan Nathan.

Nathan diam, ia menatap Haura yang masih mencoba menghapus air matanya dan juga menghindari tatapannya. Jika dilihat sekarang, Haura seperti anak kucing yang hilang, lucu.

Ingin rasanya Nathan mencubit pipinya dan tertawa, tetapi jika dia nekat melakukan itu Haura pasti tidak akan mau bertemu lagi dengannya.

“Mau pulang ga? Gue antar,” tawar Nathan, tidak mungkin ia tega meninggalkan Haura sendirian disini.

Nathan juga tadi sedang diminta tolong sama Pa Budi, untuk memeriksa nilai-nilai temannya. Tak dia sangka akan sampai selarut ini. Dan juga ia tidak mengira bahwa dia akan bertemu Haura di halte bus.

Haura menggeleng dengan ragu.

“G-ga perlu.” pungkasnya.

Nathan mengerutkan keningnya, terlihat Haura yang  sudah kedinginan dengan mata yang sembab akibat menangis.

“Yakin?” tanya Nathan.

“Iya! Udah sana pergi!” Perempuan gengsi itu memainkan ujung rok seragamnya. Nathan menghela nafas panjang.

Nathan menuruni motornya, kemudian berjalan dan duduk disebelah Haura. Haura sepertinya menggigil, cuaca hari ini memang sangat dingin.
Nathan membuka Hoodie hitamnya dan melemparnya ke arah Haura.

LiefdestaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang