- Bunge

197 38 137
                                    

Mentari pagi mulai muncul di langit Makassar, seperti biasa, Elizia sudah ada di tempat biasa duduk sembari menjajahkan kue buatannya. Hari ini, dia membuat lebih banyak kue dibanding biasanya. Dia teringat akan orang yang kemarin ingin membeli kue tapi kehabisan.

Belum pasti memang, tapi Elizia harap orang itu datang dan membeli kuenya barang sebiji saja. Ini hari pasar, makanya banyak pengunjung dari biasanya. Kue-kue Elizia juga sudah banyak yang beli. Dia jadi takut orang yang ingin membelinya kehabisan.

Apalagi sudah hampir jam 9 pagi, matahari sudah mulai meninggi. Orang-orang juga sudah banyak yang membeli kuenya.

Suara riuh di pasar sudah tak aneh lagi baginya, bahkan dia kadang tersenyum jika mendengar teriakan orang-orang yang saling bersahutan atau hanya gurauan yang tak begitu lucu.

Ya, Saya memang bukan keluarga, namun Elizia merasa nyaman berada di sana. Menjadi bagian dari orang-orang di sana. Tak kadang saling berbagi makanan atau barang-barang yang layak digunakan.

"Permisi." suara itu membuat atensi Elizia berbalik.

"Iya, kak ada yang bisa dibantu?" tanyanya ramah.

"Nggak ingat sama aku? Aku yang kemarin nanya kue sama kamu di halte," tuturnya.

"Oh, maaf, kak. Saya buta, jadi nggak tau, saya juga lupa suara kakak."

"Jadi, beneran buta, ya," batinnya.

"Kakak, mau beli kue?" tanya Elizia.

"Iya, aku beli semuanya bisa? Soalnya temen-temen aku di kampus pada suka kue kaya gini," ucapnya.

"Oh, boleh, kak. Sebentar saya bungkusin dulu."

Dengan hati-hati Elizia meraba plastik makanan di samping kotak kue miliknya. Dia memasukan satu persatu kue di dalam sana dengan hati-hati seraya menghitungnya dalam hatinya.

"Sini aku bantu," ucap orang itu mengambil plastik yang ada ditangan Elizia.

Elizia tersenyum. "Terima kasih, kak."

"Iya." dua plastik makanan terisi penuh dengan kue, tak besar memang hanya plastik kue sedang saja. "Jadi, semuanya berapa?"

"Seratus ribu aja, kak," balas Elizia.

"Ini, aku simpan di dalam tas kamu, ya."

"Iya, kak." setelah menyimpan uang tersebut, dia berbalik baru saja ingin melangkah dia kembali menoleh ke arah Elizia. Gadis itu hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong dan wajah polosnya.

"Boleh aku nanya?" tanya orang itu.

Elizia tersenyum padanya. "Boleh, kak."

Dia diam sejenak, menatap lekat gadis polos bersurai hitam legam itu. "Boleh aku tau siapa nama kamu?"

"Boleh, kak. Nama aku Elizia Anumerta Bulan, biasa dipanggil Elizia."

"Nama yang cantik," batinnya.

"Kenalin, aku Semesta Argandara Pratama, panggil Semesta aja."

"Kak Semesta, namanya bagus," tukasnya tersenyum manis. Semesta ikut tersenyum, meskipun dia tahu bahwa Elizia tak melihatnya.

Begitulah awal perkenalan mereka berdua, awal dimulai takdir yang tak semestinya bertemu. Namun, entah mengapa semesta mempertemukan keduanya, dua hal yang bahkan tidak ditakdirkan, dan tidak direstui.

Lucu memang, namun begitulah caranya bekerja. Ada seribu satu alasan mengapa takdir yang tidak seharusnya bertemu tapi dipertemukan. Semesta dan Elizia hanya salah satu diantara ribuan takdir yang tidak direstui.

Semesta dan Ceritanya [Qian Kun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang