Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semenjak menempuh pendidikan, Elizia sudah tak lagi berjualan kue di bunge, ia tak ada waktu untuk membuat adonan kue seperti biasa, apalagi Sanu dan Aini melarangnya melakukan hal-hal berat.
Hari ini, hari libur Elizia, tak ada kegiatan yang ia lakukan selain membereskan rumah dan membantu Aini memasak, padahal wanita itu sudah menyuruhnya untuk istirahat.
Perihal mimpi yang ia alami seminggu yang lalu, Elizia belum memberitahu Semesta. Ia hanya ingin mencari waktu yang tepat, dan sekarang belum mendapatkannya.
"Zia, sudah selesai, nak, beristirahatlah di kamar," pinta Aini.
"Iya, bunda, bunda juga istirahat, ya."
Aini tersenyum, ia mengelus lembut surai anaknya. "Iya, sayang, nanti bunda istirahat, kok."
"Yaudah, kalau gitu, aku ke kamar, ya."
"Iya, nak."
Lantas Elizia berjalan menuju kamarnya, perlahan namun pasti ia sudah bisa menaiki tangga sendiri. Sejujurnya ia sudah terbiasa, sebab di rumah lamanya, ia juga memakai tangga untuk masuk ke dalam rumah. Namun, Aini dan Sanu tak ingin hal yang buruk terjadi sehingga selalu memantau anak angkatnya itu saat menaiki tangga.
Setelah sampai di atas, Semesta ternyata sudah menunggunya di depan pintu kamar Elizia. Elizia melangkah seraya tersenyum, Semesta pun ikut tersenyum melihatnya. Ia tahu jika gadis itu menyadari kehadirannya di sana.
"Kenapa, kak?" tanya Elizia.
"Udah aku duga, kamu pasti sadar," ucapnya terkekeh.
"Aku selalu hapal bau parfum, kakak, ya."
Senyum Semesta semakin simpul diwajahnya. "Oh, iya, nanti sore kita jalan, yuk."
"Jalan? Ke mana?" tanya Elizia.
"Losari aja, gimana?" tanya balik Semesta.
"Ayo! Aku udah lama nggak ke sana," ucapnya antusias.
Semesta yang melihat antusiasnya pun terkekeh pelan, baginya, Elizia terlampau menggemaskan untuk tak dipandang.
"Yaudah, kalau gitu kamu istirahat sana," perintahnya.
"Iya, kak, kakak juga, ya."
"Iya, sayang."
Deg!
Degupan jantungnya berpacu dengan kuat, entah kenapa ia selalu saja tersipu malu jika mendengar Semesta memanggilnya dengan kata 'sayang' padahal Elizia pikir wajar jika seorang saudara memanggil dengan kata seperti itu.
Tak ingin berlama-lama menahan rasa malu dan degupan kencang didadanya, ia lantas bergegas masuk ke dalam kamar. Semesta yang menyadari sikap gadis itu pun hanya bisa tersenyum smirk menampilkan dimple di wajahnya yang tak terlalu dalam.