- Klase

60 16 40
                                    

Seorang wanita tua mendekat ke arah Semesta yang tengah duduk di sebuah halte, pemuda itu tengah menunggu Asteroid untuk menjemputnya. Sadar akan kehadiran sang wanita tua itu, membuat Semesta bergeser ke pinggir. Namun, wanita itu tersenyum ke arahnya dengan penuh makna, membuat Semesta terheran.

Cukup lama mereka saling menatap, tatapan yang juga penuh makna dari si wanita tua itu. Dia terlihat sedikit aneh bagi Semesta. Wanita itu terlihat sudah sangat tua, penglihatannya harusnya sudah tak baik dan tak seharusnya ia berada dia jalanan seperti ini.

Namun, yang Semesta lihat tidak. Ia seperti gadis berusia 20-an dengan raga yang berbeda. Berlebihan? Namun, itulah yang Semesta lihat tentangnya.

Wanita itu maju selangkah ke hadapannya. Masih dengan raut wajah tersenyum tentunya. Semesta hanya bisa tersenyum kikuk melihatnya.

"Mau ki duduk, nek?" tanya Semesta dengan logat Makassar.

Bukannya menjawab sang nenek malah tersenyum dan kembali melangkah maju. Ia memegang pundak Semesta, membuat sang empu terheran-heran.

"Jauhi petaka yang ada di dekatmu, nak," tuturnya.

"Petaka? Maaf, maksud ta apa?" tanya Semesta masih dengan logat Makassar.

Lagi-lagi wanita tua itu tersenyum mendengarnya. "Kalian itu petaka besar, jangan disatuhkan atau kalian akan hancur." Semesta memicingkan matanya mendengar hal tersebut, jujur saja, ia tak paham dengan apa yang dikatakan si wanita tua itu.

Wanita tua itu melepas pegangannya pada bahu Semesta, ia pergi dari sana tanpa mengeluarkan kalimat lagi.

"Nek!"

"Nek, maksud ta apa bilang begitu? Nek!" si wanita tua itu tak menggubris panggilan Semesta dan terus saja berjalan tanpa menoleh ke belakang.

Semesta memikirkan ucapannya, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lantas kembali menoleh ke arah sang nenek berjalan.

Semesta terkejut melihat wanita tua itu sudah tak ada di sana. Padahal langkahnya belum jauh, namun ia sudah menghilang dari sana.

"Petaka apa yang dia maksud, ya? Kenapa jadi sama kaya ucapan Elizia?" monolognya bertanya.

"Semesta, lama, ya? Maaf," ucap Asteroid ketika sampai di sana.

"Lumayan, sih, udah seabad lamanya."

Asteroid tertawa mendengar guyonan Semesta. "Garing, nggak usah ngelucu! Nggak pantes."

"Udah, ah, ayo ke markas." semesta langsung naik ke atas motor Asteroid. Sang empu langsung melaju meninggalkan halte tersebut, namun Semesta menoleh sekali untuk memastikan sang nenek tak ada di sana.

Dan benar saja, tetap tak ada kemunculan wanita tua itu, Semesta menggelengkan kepalanya, ia berpikir positif tentang si nenek.

Wanita tua itu mendongak ke atas langit, menatap langit Makassar yang biru tanpa awan, namun terlihat cerah. Ia tak pergi, ia masih dia sana, hanya saja Semesta tak bisa melihatnya.

"Bagaimana bisa langit kembali mempertemukan kalian?"

"Eyo, sudah lama tidak bertemu kawan," ucapnya Asteroid ketika sampai di markas. Di sana sudah ada Angkasa dan Bintang menunggu mereka sejak tadi.

"Dijemput Asteroid?" tanya Angkasa pada Semesta. Semesta mengangguk polos. "Pantas telat," sambungnya.

"Ya, salah dia, sih, kenapa mau dijempat sama Asteroid," celetuk Asteroid kesal.

"Soalnya kamu yang paling dekat dari rumah, Asteroid!" tegas Semesta.

"Iya-iya."

"Kalian tau?" tanya Angkasa. Semua menatapnya dengan tanda tanya besar diwajahnya. "Aku habis nembak Elizia waktu itu."

Semesta dan Ceritanya [Qian Kun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang