BAB 17 - REMI

6.5K 445 21
                                    

Emosi Romeo sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Suasana hatinya benar-benar buruk ketika ia keluar dari tempat persidangan.

Tidak. Bukan berarti Romeo kalah dalam persidangan, melainkan ... selama persidangan, pikirannya malah terpecah menjadi dua. Romeo hampir salah mengucapkan pasal, salah menyebut nama korban, mau pun salah menyebutkan nama terdakwa. Beberapa detik dia blank, tapi untung saja Romeo dapat segera mengatasi itu.

Dan yang paling Romeo sesalkan saat hakim memberi kesempatan dirinya untuk membela terdakwa Romeo malah melamun, Romeo bahkan sampai kaget ketika panggilan ketiga namanya disebut. Sebenarnya Romeo tidak takut jika itu akan berdampak buruk pada karirnya, Romeo hanya takut jika itu semua berdampak pada firma hukum yang ayahnya dirikan. Kesehatan ayahnya akhir-akhir ini menurun, Romeo takut kalau ini akan memengaruhi kesehatannya lagi.

Untuk yang kesekian kalinya Romeo membasuh mukanya di wastafel toilet. Ia menatap pada kaca lalu memperhatikan dirinya sendiri.

Arini ...

Tapi lagi-lagi nama itu kembali datang. Seberapa keras usaha Romeo untuk mengeyahkan wanita itu dalam pikirannya, tapi, Arini kembali hadir. Perkataannya tadi pagi benar-benar membuatnya syok. Romeo tidak tahu bahwa Arini bisa seberani seperti tadi.

Romeo menghela napas. Ia mengelap mukanya dengan tisu yang ia bawa kemudian menghela napas panjang. Tapi, sebenarnya ada sesuatu hal lain yang saat ini ikut Romeo pikirkan. Ketika Arini menghilang selama dua hari dan seperti ada sesuatu hal yang sedang Arini sembunyikan.

Lalu kata-kata itu ...

Romeo mematung. Tangannya mengepal kuat tapi pikirannya menerawang jauh, lagi-lagi ia kembali mencerna seluruh perkataan Arini.
Sebenarnya apa yang sedang ingin ia katakan?!

Tenang saja ... tanpa harus bercerai pun, sebentar lagi aku akan pergi. Kau tidak usah repot-repot lagi menyakitiku karena aku jamin aku akan tetap pergi
Adalah kata-kata yang terus terngiang-ngiang di kepala Romeo.

Sejak Arini kembali, kenapa dia bertingkah dengan sangat aneh?

Romeo kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Sebenarnya, Romeo tidak mau mencari tahu, tapi karena hal ini benar-benar mengganggu konsentrasinya, Romeo terpaksa melakukannya.

"Halo, Rem. Apa kau di rumah sakit?"

"Tentu, tumben kau menghubungiku?"

"Bisa kah kau membantuku? Istriku pernah dirawat di rumah sakit di mana kau bekerja. Bisa kah kau memberiku riwayat rekam medis atau apa pun itu?"

"Eh?"

"Maksudku biar aku ke sana sekarang juga."

"Hey, Rom. Itu bukan kuasaku. Bisa-bisa aku terkena masalah di sini. Aku baru dua tahun bekerja di sini dan aku masih tidak berani macam-macam. Lagi pula, aku tidak tahu ketika istrimu dirawat."

"Aku mohon. Bisa kah sekali ini kau membantuku?"

Sejenak Remi berpikir. Dapat Romeo tebak saat sambungan itu masih tersambung tapi Remi masih belum juga bebicara.

Hingga pada akhirnya Remi menghela napas.

"Oke, oke baik lah."

Setengah sudut bibirnya tersungging. "Aku akan ke sana sekarang juga."

"Oke oke."

***

Tidak butuh lama ketika Romeo harus pergi ke rumah sakit tempat Remi bekerja. Romeo kemudian mengetuk pada pintu yang bertuliskan dr. Remi Renaldi, Sp. And

"Rem?"

"Oh, kau sudah datang?"

"Jadi bagaimana?"

Remi menghela napas. "Aku bahkan tidak tahu istrimu dirawat di sini sebelumnya." Remi kemudian mempersilahkan Romeo untuk duduk.

"Bagaimana kau tahu? Rumah sakit ini sangat besar dan aku tahu kau spesialis andrologi, jadi bukan ranahmu untuk menangani pasien seperti ini."

"Tapi kau bisa menelefonku sebelumnya. Kau tahu kan, kau, Aluna dan Arini temanku juga?"

Romeo menghela napas saat ia teringat lagi tentang Aluna.

"Iya, maaf."

"Dengar, Rom. Sebenarnya aku tidak mempunyai wewenang untuk mencari data-data seperti ini."

Romeo pun mengangguk. Tapi, hanya Remi yang ia kenal di rumah sakit ini. Dengan siapa lagi dirinya meminta pertolongan kalau bukan dirinya?

"Anggap saja ini karena Aluna. Kau tahu dia yang menyemangatiku saat masuk ke dunia kedokteran." Tiba-tiba Remi menghela napas. "Maaf Rom, aku tidak tahu dia akan pergi secepat ini. Kalau dia masih hidup dia pasti akan menjadi dokter yang hebat."

"..."

Munafik jika Romeo mengatakan bahwa hatinya tidak merasa sakit. Nyatanya, kepergian Aluna benar-benar membuat dadanya sesak.

"Maaf, aku keceplosan. Aku hanya rindu padanya ..."

"Ya, aku mengerti. Dan sialnya aku malah menikahi adiknya. Ha ha ha." Tiba-tiba Romeo tertawa atas kemalangan nasibnya. Membuat dahi Remi mengerut mendengar ucapan itu.

"Astaga, Rom. Apa kau masih membencinya? Dia sekarang sudah menjadi istrimu!"

"Istri? Ha ha ha. Dia pembunuh Aluna asal kau tahu?"

"Hey! Jadi setelah sekian lama, kau masih mempunyai pemikiran picik seperti itu?"

"Kau bahkan ada di tempat kejadian setelah kecelakaan itu? Mobil yang ditumpangi Aluna ringsek, bagian joknya sudah hampir tidak terbentuk lagi. Tapi Arini ...? Dia hanya luka ringan."

"Luka ringan? Arini juga sakit parah di rumah sakit selama berhari-hari."

"Tapi Arini yang saat itu memegang kemudi."

"Lalu apa masalahnya ...? Apa kau tidak melihat cctv itu secara utuh?! Truk yang menghantam Arini lah yang kelebihan muatan hingga tidak bisa mengendalikan saat turun melewati persimpangan."

"Aku sudah melihat cctv nya, dan kenapa Arini harus membanting ke arah kiri? Kenapa dia harus membanting ke arah kanan? Apa dia tidak tahu dari arah berlawanan ada mobil dan bus juga?"

"Hey! ROMEO! SADAR LAH!!! Apa waktu itu dia mampu berpikir sampai seperti itu?! Kau tidak tahu betapa Arini juga pasti syok dengan apa yang ia lakukan?! Dan melihatmu berbicara seperti itu ... bagaimana di situasi runyam seperti itu Arini mampu untuk berpikir?! Dan sepertinya kau memang belum melihat cctv nya secara utuh? Kau hanya melihat sepotong-sepotong cctv hingga kau benar-benar menyalahkan Arini."

Dahi Romeo mengerut.

"Ya, Rom. Sepertinya kau memang tidak pernah mau tahu kenyataannya karena kau sendiri yang memang terus mencari seseorang untuk disalahkan. Kau butuh seseorang yang bisa menyalurkan segala bentuk emosimu ketika kehilangan Aluna."

"Jangan sok tahu ..."

"Kau yang sok tahu, Romeo! Lihat lah cctv itu sekali lagi. Dari cctv lain kau pasti tahu bahwa jika Arini membanting stir ke arah kanan seperti apa yang kau katakan, Arini akan menabrak segerombolan anak TK, pejalan kaki dan juga pesepeda yang sedang berjalan di trotoar?"

"Apa ...?!" Mata Romeo melebar. Seperti sebuah petir yang tiba-tiba menyambar Romeo tepat di ulu hatinya.

"See ...? Dugaanku ternyata benar. Kau belum melihat cctv itu secara penuh. Kau hanya menutup mata, kau hanya sibuk mencari seseorang untuk disalahkan karena rasa kehilanganmu terhadap Aluna. Kau juga hanya butuh tumbal untuk menyalurkan rasa bencimu karena kau masih tidak terima ketika Aluna harus pergi mendahuluimu."

Remi menghela napas panjang kemudian melemparkan satu buah berkas ke atas meja.

"Ini daftar rekam medis Arini. Dia sedang sakit, dia sekarat. Dia tidak mempunyai waktu lama lagi untuk bertahan hidup. Selamat Romeo, sepertinya doamu akan segera terkabulkan, Arini tidak mempunyai waktu lama lagi di dunia ini jika tidak tertangani dengan baik."

Mendengar semua penjelasan Remi, Romeo semakin mengerutkan dahi.

"..."

"Leukimia. Buka lah! Agar kau tahu seberapa mengerikannya penyakit itu di tubuh Arini saat ini."

ARINI'S WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang