"Jadi, berapa lama Arini bertahan?"
"Satu tahun, Romeo. Arini hanya mempunyai waktu satu tahun ..."
Seperti sebuah petir disambar tepar di ulu hati Romeo saat ini. Ia masih mengamati Arini lekat-lekat yang masih pingsan di dalam ruangan itu. Sedari tadi Romeo hanya bisa melihatnya dari jendela kaca, menatapi Arini yang sedang diinfus oleh beberapa perawat di dalam ruangan sana.
Air mata Romeo tumpah ruah. Tangannya bergetar ketika mendengarkan Remi yang sedari tadi terus berbicara. Sesuatu kenyataan yang sangat sulit untuk Romeo percayai saat ini.
"Kau harus segera berkonsultasi dengan dokter spesialis onkologi. Aku tidak bisa menentukan sampai kapan Arini mampu bertahan karena itu tergantung dengan terapi pengobatan, dan kondisi tubuh Arini. Hanya saja ... jika kau tidak bisa membujuk Arini untuk segera mengobati penyakitnya, aku pesimis mampu melihatnya tahun depan."
Romeo tidak bisa membendung air matanya lagi. Tanpa sadar, ia meremas dadanya yang terasa sangat ngilu.
Remi pun sama, ia ikut menyeka air matanya karena bagaimana pun, sebagai teman, ia juga tidak sanggup untuk melihat Arini pergi.
"Sekarang kau menyesal, Rom? Pada akhirnya kau merasakan apa yang pernah Arini rasakan dulu."
Romeo lagi-lagi menangis. Jika waktu dapat diulang, Romeo janji tidak akan pernah menyakiti Arini.
"Bujuk lah Arini sesegera mungkin. Dia harus segera kemoterapi."
"Aku sudah mencobanya ..."
"Kalau begitu, coba lah dengan sangat keras lagi. Apa kau ingin Arini semakin sekarat ...?"
Romeo menggeleng.
Terdengar helaan napas dari Remi.
Hingga pada akhirnya mereka hanya bisa menerawang jauh, diam membisu hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Mereka hanya bisa meratapi nasib Arini yang sangat menyedihkan. Menanti keajaiban datang agar Arini bisa sembuh dari penyakitnya.***
Tiga jam telah berlalu, Arini masih tidur di atas ranjang sedangkan Romeo masih setia menunggui Arini duduk di sampingnya. Wajah Arini terlihat sangat pucat, bibirnya memutih saking pasinya.
Apa dia kedinginan ...?
Romeo melihat bibirnya bergetar. Ia kemudian meraih tangan Arini dan menggenggamnya erat-erat agar dia tidak kedinginan.
Rasa hangat bercampur, Romeo menyatukan tangannya di sela-sela jari Arini dan mengelusnya berulang kali. Jujur, ini pertama kalinya Romeo melihat Arini yang terpejam seperti itu, dirinya baru pertama kali melihat wajah Arini yang tampak damai dan menenangkan.
Romeo menyesal, kenapa baru sekarang ia bisa melihatnya. Padahal, Romeo mempunyai hak untuk memandanginya setiap waktu.
Hingga pada akhirnya, Romeo melihat wajah Arini yang bergerak-gerak. Matanya mengerjap-erjap hingga membuat Romeo mendongak.
"Romeo ...?" Dan yang dilihat Arini pertama kali adalah wajah Romeo. Yang memandangnya, dan melihatnya seperti itu.
"Kau sudah bangun?"
"Di mana ini?"
"Tenang saja, kau sudah dirawat."
"Apa yang baru saja terjadi ...?"
Kepala Arini masih terasa sangat pusing, tapi ia mencoba mengingat tentang apa yang sudah terjadi. Dan begitu ia ingat, ia kemudian berusaha untuk duduk dan menyangga tubuhnya pada ujung ranjang.
"Kau istirahat lah, jangan memaksakan diri."
"Aku sudah baikan. Maaf, mungkin tadi aku kelelahan."
"Kau sakit, Arini. Mengerti lah."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARINI'S WEDDING
RomanceKetika Arini dipaksa untuk menggantikan posisi kakaknya untuk Romeo. Lalu ketika Romeo terpaksa menikahi Arini, yang benar-benar sangat membuatnya benci. Dan ketika dua hati terpaksa bersatu, mungkin kah mereka akan berdamai dengan waktu?