ೄYOGAྀ࿐9

235 42 4
                                    

—🐯

Wenandyra Naza Pradipta. Wanita yang akrab disapa Wendy tersebut telah resmi ikut menyandang nama Pradipta setelah menikah dengan Chandra Pradipta dua puluh tahun yang lalu.

Dulunya, ia merupakan menantu kesayangan di keluarga ini. Ia semakin disayang saat diketahui tengah mengandung anak pertamanya setelah satu tahun menikah. Wendy saat itu sangat dimanjakan oleh keluarga Pradipta, terutama nyonya besar Pradipta alias ibu dari suaminya. Tapi itu tak berlangsung lama, setelah tiga hari ia melahirkan.

Wendy sedang berdiri di depan rumah besar, yang dulu pernah ia tempati dan menjadi nyonya disini. Kini ia telah disini, berdiri lagi setelah empat belas tahun lamanya.

Bukan tanpa alasan ia kembali, tapi karena panggilan dari nyonya besar Pradipta itu yang membuatnya datang.

"Nyonya Wendy..." Ujar seorang pelayan yang ternyata masih mengingatnya.

Wendy tersenyum pada pelayanan itu, kemudian masuk ke dalam rumah besar itu dan duduk di ruang tamu.

Setelah lima belas menit lamanya, suara pijakan sepatu dari arah tangga membuat Wendy meremat tangannya sendiri.

"Sudah lama?"

Suara itu membuat Wendy mendongak, menatap wanita berumur jauh lebih tua darinya itu. Wanita yang merupakan nyonya besar Pradipta—tak lain juga merupakan ibu mertua Wendy tersebut mendudukkan dirinya tepat dihadapan Wendy.

"Apa pertanyaan saya pantas diabaikan?"

Wendy menunduk, kemudian kembali mendongak. "Langsung pada intinya saja, ibu Pradipta" ujarnya tersenyum.

Hal itu dibalas tatapan datar nyonya besar Pradipta. "Apa sopan berbicara seperti itu pada ibu dari suamimu, Wenandyra?"

Wendy terkekeh. "Saya hanya tidak mau membuang waktu terlalu lama, karena kedua putra saya pasti akan khawatir jika tidak melihat ibu mereka dirumah,"

Perkataan dari wanita yang lebih muda darinya itu membuat nyonya besar Pradipta menahan mati-matian rasa emosinya yang mulai terpancing.

"Anak kamu hanya satu, Rendi. Cucu saya," ujarnya sambil menunjukkan tatapan tajamnya.

Tapi Wendy justru terkekeh menanggapinya. "Itu cucu anda, bukan cucu ayah dan ibu saya," balas Wendy. "Cucu ayah dan ibu saya ada dua... dua pangeran kalau kata mereka," lanjutnya dengan suara lembut.

"Kita rasa, kita perlu bicara hal yang akan membuat senyummu itu pudar, Wenandyra..." Nyonya Pradipta tersenyum, tapi bukan senyum yang indah dimata Wendy.

—🐯

Yoga dan Jivan menatap pemuda yang kini duduk di bangku pojok belakang di kelasnya. Pemuda seumuran mereka tersebut merupakan siswa baru.

Pemuda dengan mata kucing dan berkulit pucat itu cukup menawan, membuat para gadis terpesona menatapnya.

"Dapet temen baru ganteng lagi," ujar Naya, sekertaris kelas yang suka blak-blakan kalau berbicara.

"Hayden.... Senyum dong" kini giliran si Hani, cewek yang punya urat malu setipis benang. Kadang ia bertingkah konyol, bahkan sering menggoda Yoga dan berakhir adu mulut dengan Jivan.

Anak baru yang merasa terpanggil itu pun hanya menatap datar teman-teman kelas yang belum dikenalnya.

"Hayden kalo diliat liat agak mirip sama Yoga,"

Suara salah satu siswi itu membuat satu kelas langsung memperhatikan kedua pemilik nama yang disebutkan.

"Iya, kok baru sadar gue"
"Pantesan kayak pernah liat, eh mirip temen sendiri"
"Tapi si Hayden agak pucet"
"Iya, ih... Mirip,"
"Jangan-jangan....kalian saudara ya?"

ೄYOGAྀ࿐Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang