18. Bersih

1.8K 306 19
                                    

Setelah tiga hari tidak sekolah, Anes pun akhirnya bisa kembali duduk di dalam kelas IPA 4 yang bagai tempat satwa liar ini. Semua sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang bergosip, menonton, bermain bola, atau hanya berjoget ala para biduan di luar sana.

Beruntung di hari pertama setelah insiden kena serempet motor demi pentol lima biji itu, kini Anes bertemu dengan jam kosong sebanyak dua kali berturut-turut. Pertama adalah saat ini, dan nanti di jam pelajaran kedua. Namun, agaknya kepala sekolah yang mendengar kebisingan dari kelas IPA 4 tidak membiarkan kebahagiaan para murid tersebut berlarut-larut.

“Kalian ini manusia apa hewan, sih? Suara ribut kalian kedengaran kaya kebun binatang dari tempat saya,” sambar Pak Joko yang langsung membuat semua kegiatan liar para satwa IPA 4 berhenti. Mereka dengan kecepatan kilat kembali pada tempat duduk, meski tampaknya tidak benar. Pak Joko bisa dengar masih ada beberapa murid yang berdebat dengan bisik-bisik.

“Woi, itu bangku gue, anjir!”

“Udah asal aja, tempat gue juga diambil!”

“Tas, mana tas gue?”

“Emang lo bawa tas tadi?”

“Siapa lagi yang curi pulpen gue?”

“Ini selimut siapa di laci gue, woi!”

“Aduh, penghapus mana? Papan tulis lupa dihapus gambarnya.”

“Masya Allah … semoga Bapak gak liat.”

Mendengar semua itu, Pak Joko hanya dapat tersenyum sampai matanya tampak tertutup. Ia lalu menoleh ke belakang, melihat gambar kucing dengan pose seksi dan dada serta pantat yang sangat besar. Ada keterangan nama seseorang juga di samping. “Yah … namanya juga anak-anak.” Si kepala sekolah ini berusaha untuk memaklumi.

“Oh, iya.” Pakk Joko berbalik lagi, menghadap wajah-wajah tegang dan tatapan yang tersirat rasa kesal dari para anak IPA 4 karena jam kosong mereka diganggu gugat. “Maaf ya, Bapak telat ke sini tadi.”

“Kalo gak datang juga lebih baik, Pak,” oceh Ivan yang kini duduknya sudah ada di sebelah Dzaka. Angel tidak sudi duduk di sana lagi.

“Mulut siapa itu?” tanya Pak Joko dengan urat yang mulai tampak di kepala dan leher meski ia masih tersenyum.

“Bukan saya, Pak.” Namun, para murid IPA 4 ini malah menjawab serentak.

“Mungkin hantu, Pak,” Dzaka menambahkan. “Tapi saya gak dengar orang ngomong dari tadi. Mungkin Bapak capek dan butuh istirahat yang cukup,” ucapnya lagi dengan senyuman bisnis dan nada penuh rayuan.

Semua mata di kelas langsung berbinar-binar menatap Dzaka layaknya seorang pahlawan.

“Gitu, ya.” Pak Joko tampak berpikir. “Nah, gimana kalau kita ke taman aja? Bersihin daun-daun dan sampah di sana. Biar sehat harus olahraga.” Setelah mengatakan itu, Pak Joko langsung berlalu keluar kelas dan segera diikuti oleh para murid IPA 4.

“Van,” bisik Reno yang menyempilkan tubuh gempalnya di antara Ivan dan Rizky. “Lo berani banget ngomong kaya tadi.”

“Beranian Jaka sih,” ucap Ivan dengan senyuman. Meski jadi babu taman, rasanya lebih menguntungkan dari pada harus duduk di kursi dan belajar menghadap rumus di papan tulis.

“Kita juga udah pake baju olahraga, hehe. Bersih-bersihnya bentar aja, habis itu cus kantin.” Rizky tampak lebih bersamangat, padahal tadi dia hanya molor saja sejak pertama kali melangkah masuk ke dalam kelas.

Tak butuh waktu yang lama untuk mencapai taman sekolah. Mereka pun mulai membersihkan daun-daun kering dan sampah-sampah kecil dengan keributan yang tidak berhenti. Termasuk juga … pasangan yang sangat kontroversial di kelas mereka. Siapa lagi kalau bukan Anes dan Dzaka?

“Hahaha!”

“Hahaha!”

Anes dan Dzaka berpegangan tangan, lalu berputar lebih cepat dari pada gasing, lebih menyerupai angin topan. Kemudian putaran dan kaki dari kedua orang itu nyatanya lebih cepat dalam mengumpulkan daun-daun kering tadi, menjadi satu tumpukan.

“Hahaha!”

“Hahaha!”

Anes dan Dzaka tetap berputar kencang sambil tertawa riang. Membuat teman-teman mereka tercengang bengang, bahkan termasuk juga Pak Joko.

“Ssstt, Van, mereka berdua ngapain?” Reno tidak jadi mendekat, wajahnya tampak takut.

“Menjadi alat,” balas Ivan sekena mungkin. Dia juga merasa ngeri melihat pemandangan brutal ini. Memangnya manusia bisa seperti itu, ya?

“J-Jauh semua … nanti kalian bisa ikut gila.” Rizky ikut menimpali. Dia seperti penjaga pantai yang memberi instruksi. Tapi kali ini kepada sesama teman kelas saja.

“Pak! Di sini udah bersih!” lapor Anes sambil mengangkat tangan dengan wajah memerah karena kegirangan.

“Di mana lagi yang perlu dibersihin?” Dzaka tampak dipenuhi energi. Padahal wajahnya mulai pucat pasi.

“Anak-anak … jangan berlebihan!” peringat Pak Joko merasa salah masuk kelas.

“Hueekk!” Anes muntah tepat di hadapan kepala sekolah dengan tidak Tahu malunya.

“Pak.” Dzaka pun jadi mengambil langkah mendekat sambil menutup mulut. “Izin ke uks.”

“Kan udah Bapak bilang!” seru Pak Joko merasa mulai pusing sendiri. Dia lupa kalau di kelas XI IPA 4 ini, ada Dzaka dan Anes yang acap kali jadi perbincangan para guru.

Pasangan PrikkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang