51. Manis (2)

1K 205 26
                                    

Dahlia-Ibu Ivan-sejak hari itu sampai dengan sekarang ini, berusaha untuk merubah dirinya sendiri. Ia sadar kalau waktu terus berjalan meninggalkan dirinya sendirian. Bahkan juga putra semata wayangnya, Ivan.

"Eh, Anak Mama udah mandi? Rapi banget, ya. Cakep."

Ivan bergeming di depan pintu kamar. Wajahnya tampak kaku karena masih selalu kebingungan, tiap kali melihat sosok ibunya di dapur. Melakukan kegiatan layaknya seorang ibu pada umunya-hanya saja, bagi Ivan itu tidak wajar.

Karena sejak kecil ... Ivan mengurus segala hal sendirian, bahkan juga merawat sang ibu. Dan Dahlia sangat mereasa bersalah akan hal itu.

"Sini. Mama udah nyiapin sarapan."

Ivan menggaruk tengkuk. Lalu melangkah ke meja makan sembari menunduk.

"Nah. Kamu masih suka nasi goreng campur sosis sama telur gulung, 'kan?"

Ivan mengangguk lagi. Sulit baginya untuk mengeluarkan suara. Lidah Ivan terasa kelu. Ia pun memilih untuk mulai melahap makanannya setelah diaduk.

"Anak Mama nggak sekolah hari ini?"

Ivan mendongak dengan mulut masih mengunyah. Diperhatikannya tiap inci dari wajah sampai tubuh sang ibu. Kurus, ringkih, rapuh ... tapi entah kenapa Ivan bisa merasakan kekuatan samar di balik senyuman hangat itu.

"H-hari ini sekolah kan, lagi libur."

"Eh, gitu?"

"Iya."

"Maaf. Mama nggak tau."

"Mama emang nggak perlu tau. Biasanya juga gitu." Ivan tidak bermaksud apa-apa. Ia hanya tidak ingin membebani ibunya sendiri.

Dahlia pun menunjukan reaksi terkejut, lalu sedetik kemudian ia tersenyum pahit. Tangan kurus itu bergetar saat ia perlahan mengelus kepala Ivan.

"Kamu ... kenapa udah sebesar ini, ya? Padahal dalam ingatan Mama, tinggi kamu masih selutut Mama. Suka nangis, suka rewel, suka nanya, suka lari ke mana-mana."

Ivan tercekat sebentar, lalu kembali berusaha melanjutkan makan dengan tubuh gemetar menahan lonjakan emosi di dalam dada.

Kenapa? Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang ibunya peduli pada Ivan? Ke mana ibunya selama ini ketika Ivan selalu sendirian?

Bahkan sejak sekolah dasar Ivan harus belajar bertahan. Melihat bagaimna ibunya hanya meratapi nasib dan tidak ingin mengurusnya. Menyaksikan bagaimana ayahnya pergi bersama wanita lain. Ivan selalu berusaha untuk mandiri sampai saat ini.

Jadi Ivan sangat tidak terbiasa dengan kehadiran ibunya sendiri. Rasanya aneh, ganjil, dan menggelitik. Dahlia memahami itu.

Sejak Ayah pergi bersama wanita itu, sudah tidak ada napas lagi di rumah ini.

Dahlia ingat kata-kata Ivan dengan mantan suaminya waktu itu. Meski yah, sebenarnya kalimat Ivan lebih kasar.

"Mama tau kata maaf aja nggak bakal cukup." Dahlia mendekat, perlahan memeluk anaknya dalam deraian air mata yang mulia mengalir deras.

"Mama tau kata maaf aja nggak bakal balikin waktu Ivan. Tapi ... tapi ... Mama bener-bener menyesal. Mama udah jahat sama anak Mama sendiri. Ivan pasti kesakitan. Kamu pasti kesepian. Anak Mama yang sangat malang. Mama udah jahat. Mama yang terburuk."

"Ughh ... iya. Mama emang jahat. Jahat banget." Ivan meremas sendoknya kuat. Menggigit bibir hebat. Seolah ada gunung merapi yang meletuskan emosi, dibersamai oleh tsunami rasa sakit dan sepi yang selama ini berusaha untuk Ivan tangani sendiri. Anak dan ibu itu pun saling menumpahkan perasaan mereka di pagi hari ini.

Pasangan PrikkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang