45. Saingan

1.1K 208 28
                                    

Sudah genap satu bulan lamanya Anes menjalani perawatan. Ini lebih sebentar dari pada ketika gadis manis itu kambuh terakhir kali—saat itu Anes sampai dirawat selama tiga bulan. Anes tidak ingin dan tidak bisa juga tinggal di rumah. Karena itu dia hanya berada di rumah sakit saja. Lagi pula, ia sebentar lagi akan keluar karena sudah dinyatakan membaik.

"Harusnya gue 'kan udah sembuh." Anes bergumam ringan, sambil terus menggerakan tungkai, menyusuri lorong untuk menuju ke taman.

"Sembuh ‘kan butuh proses, Anes."

Gadis manis itu sedikit terkejut karena suara tak asing dan sosok tegap semampai yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya.

"Dokter Dean," sapa Anes tersenyum tipis. Ada helaan napas lega karena yang ia dapati adalah pria ini.

"Lagian kamu bukannya takut sama semua orang." Dokter yang masih terbilang muda itu mengelus kepala Anes pelan. Gemas. Mereka memang jadi cukup akrab akhir-akhir ini.

"Lihat? Tubuh kamu nggak ngerespon negatif kalau sama saya."

Itu benar. Anes yang menjalani perawatan, tidak serta merta berakhir sia-sia. Nyatanya gadis manis ini tidak takut pada semua pria. Anes juga sebenarnya hanya akan merasa ketakutan jika … ia bertemu dengan sosok yang mirip dengan ‘orang itu’. Baik dari segi wajah, postur, perawakan, sampai dengan aroma tubuh yang khas karena parfum menyengat yang bercampur dengan bau alkohol. Anes mau tidak mau jadi hapal semua itu.

“Kamu gak takut ‘kan sama saya?” Sang dokter kembali memastikan. Ia harus sedikit menunduk ketika bicara dengan Anes. Tentu karena tubuhnya yang tinggi, berbanding cukup jauh dari badan pendek Anes.

"Itu 'kan karena Dokter Dean ya, Dokter Dean."

Sewaktu Anes dirawat tiga bulan lalu, Anes jadi mengenal Dean karena saat itu pria tersebut masih bekerja sebagai asisten dokter saja. Siapa sangka sekarang Dean sudah menjadi salah satu dari para dokter itu.

"Ini Anes mau ke taman?"

Anes mengangguk. "Bosan. Di kamar terus. Dokter yang konsulin juga keliatan capek."

“Itu karena kamu sering jahilin dia.”

“Jahil apanya? Orang cuman kagetin tiap dia masuk. Atau pakai kostum ala pocong-pocongan. Atau pura-pura mati keselek apel kaya putri salju. Atau pura-pura mau loncat dari jendela sampai akhirnya itu jendela dikunci sama petugas.” Anes menghitung dengan jari seraya mengingat-ngingat apa yang telah ia perbuat.

“Oh. Pernah juga waktu konsul malah ketiduran. Pernah bagi obat sama kucing dia. Pernah nyangkut di jendela kamar pasien sebelah sampai akhirnya jadi harus pindah, pasien itu sih, yang malah pindah. Dasar aneh. Pernah juga ubah kamar ala hutan-hutan sampai dapat surat peringatan. Pernah gak sengaja rusakin kamar mandi gegara mau buat kolam. Terakhir kemarin ya, kena marah soalnya bikin acara teh ala kerajaan di kamar.”

Dean tertawa renyah mendengar curhatan Anes. “Itu mah udah kebanyakan.” Tangannya mencubit pipi Anes gemas. Masih tertawa lepas bahkan meskipun dokter tersebut mendpaat tamparan keras pada pertunya dari Anes.

“Dokter William sering banget curhat sama kami waktu jam istirahat. Tapi dia hebat ya, gak mau nyerah. Padahal saya mau banget nanganin kamu kalo dia udah gak kuat.”

Anes cemburut dengan pipi menggembung, malah menambah kesan imut meski masih tampak luka pada bagian-bagian wajah manisnya. “Jangan-jangan entar malah dirujuk ke rumah sakit jiwa.”

“Emang kamu pernah ke sana?”

Kini kedua orang itu sudah sampai di taman, dan langsung mengambil posisi duduk di salah satu bangku panjang di bawah pohon nan rindang. Dengan pemandnagan hamparan bunga beserta rumput hijau yang memanjakan mata.

Pasangan PrikkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang