42. Putri

1.2K 236 68
                                    

"Gak kerasa ya, sekarang udah ulangan aja," celetuk Lily yang langsung mendapat toyoran di kepalanya oleh Layla.

"Gak kerasa pala Lo peyang! Mau mati gue belajar semua ini!"  keluh Layla sambil menghamburkan setumpuk kertas, beserta beberapa buku dari atas kasur ke lantai. Sedangkan saudara kembarnya itu belajar di meja yang satu set dengan lemari.

"Lo sih, goblok," cecar Lily tidak berempati sama sekali.

"Gue 'kan, gak kaya lo yang selalu dapat peringkat tiga besar!" Layla mendengkus. Lalu membaringkan diri. Menatap langit-langit kamar dengan tangan seolah menerawang jauh.

"Tapi lo 'kan juga selalu masuk lima besar." Lily kembali fokus pada buku-buku di meja.

"Itu gak cukup, 'kan? Mama tetap gak puas."

Sebuah kalimat yang tidak dapat Lily bantah. Ketika kedua kembaran itu sedang menyelami pikiran masing-masing, pintu tiba-tiba saja terbuka. Lalu muncul sosok dengan wajah masam tengah menatap sinis ke arah Layla.

"Kenapa kamu di sini?"

"Eh, Mama."

Lily menoleh dan Layla langsung duduk. Gadis-gadis itu cepat-cepat membersihkan buku beserta lembaran yang berhamburan di lantai. Merapikan dan meletakkannya kembali ke rak secara terburu.

"Keluar kamu! Jangan ganggu Lily belajar! Nanti dia jadi bodoh kaya kamu!" kecam sang ibu dengan suara yang melengking tinggi.

Lily baru saja berdiri untuk menengahi, tapi ibunya sudah lebih dulu menarik lengan Layla. Membawa saudara kembarnya itu keluar dari kamar secara paksa. Lily berniat untuk ikut keluar, tapi kode dari Layla membuatnya urung dan kembali masuk ke dalam kamar.

"Lagi-lagi kaya gini."

Memang selalu seperti ini. Karena Lily yang lebih pintar dari pada Layla, entah kenapa ibunya jadi sangat membedakan mereka. Dari segala hal sampai juga kamar. Lily mendapat kamar lebih luas dengan fasilitas lengkap. Sedangkan Layla diberi kamar di loteng, hanya ada satu kipas angin, satu tempat tidur, dan setumpuk buku berantakan di dalam sana. Jauh berbeda dengan milik Lily yang bahkan kamarnya memiliki AC.

"Lebih baik kamu belajar dan tingkatkan nilaimu itu dari pada ganggu Lily!" peringat wanita tersebut sebelum mengunci pintu. Mengurung putrinya yang malang di loteng sendirian.

"Sakit," keluh Layla memegangi tangan kirinya yang nyeri. Ada bercak warna merah bercampur biru keunguan di sana. "Memar."

Meski demikian, Layla masih berusaha melangkah gontai. Mengambil buku dari tas. Belajar meski dengan segala kekurangannya di dalam sana.

"Arghh!! Gak mungkin gue bisa kalahin Layla, Monisa, apalagi si Jaka Tarub itu!” erang Layla frustasi. Padahal baru saja melihat halaman pertama pada buku pelajarannya.

Dia memang kurang dalam bidang seperti ini, karena Layla lebih menggemari seni. Dia suka melukis, gadis ini gemar menggambar. Layla juga pandai memainkan alat musik seperti gitar, piano, sampai biola. Tapi ibunya tidak pernah setuju akan hal itu, dan ayahnya sendiri hanya diam saja. Membiarkan sang ibu mendidik dua putrinya dengan cara tak lazim. Meski begitu, Layla tidak bisa membenci Lily.

“Hah … iri banget.” Layla membaringkan tubuhnya lagi ke atas ranjang yang sama sekali tidak empuk itu.

“Kok bisa Dzaka yang kaya gitu jadi pinter? Padahal kerjaannya tiap hari bikin onar aja. Kok, hidup orang semulus itu, sih?” Layla mendesah berat. Lantas menyumpal telinga dengan earphone. Mata Layla otomatis terpejam dengan alunan musik yang sudah ia ciptakan sendiri di ruang kesenian sekolah.

Pada akhirnya gadis rapuh tersebut menyelam di alam mimpi dengan damai. Kadang, ia berharap tidak bangun lagi, atau saat membuka mata ... Layla berharap keluarganya lebih menerima apa yang menjadi kekurangannya.

Pasangan PrikkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang