39. Debat

1.2K 248 14
                                    

"Abang denger lo diskors tiga hari. Dari Rabu, Kamis, Jum’at. Ini udah hari Jum’at lagi ya … kemarin hari Kamis.” Pria dengan potongan rambut hampir menyentuh bahu itu, masih sama. Dengan pakaian khas para tahanan, ia duduk berseberangan dengan Dzaka dan ada dinding kaca yang sudah dilubangi sebagai cara untuk berkomunikasi.

“Abang udah ada CCTV berjalan rupanya.” Dzaka malah menyindir.

“Pasti waktu berangkat sekolah lo dihadang mereka lagi, ‘kan? Kok, itu anak-anak bisa bolos sampai ke kota sini, ya. Padahal udah beda kota. Cukup jauh pula.”

“Y-ya … gitulah.”

Tersenyum lembut, pria dengan baju tahan nomor 409 itu ingin sekali memeluk adiknya yang malang. Tapi dinding kaca dan statusnya saat ini telah menjadi penghalang. “Mereka licik juga. Habis ngajak lo berantem, sengaja nyelundupin rokok ke dalam tas lo. Wah, nanti Abang balas mereka.”

Dzaka berdecak. “Jangan ngomong yang macam-macam deh, dan hidup baik-baik aja di sini. Cepet keluar.” Padahal semua tahu kalau masa tahanan sang kakak masih belasan tahun lamanya.

“Padahal udah pindah dan segala macam. Tapi lo tetap dikejar kaya gini. Abang minta maaf. Kadang Abang mikir, kalo aja waktu itu Abang bisa nahan diri dan gak bunuh ayah kita—”

“Stop.”

“Dzaka ….”

“Jijik. Ngapain sih, Abang masih manggil bajingan kaya dia … ayah kita?” Tangan Dzaka sudah mengepal dengan tatapan menghunus yang terasa dingin, tapi ada nada nestapa yang amat dalam pada tiap kata yang ia keluarkan.

“Bunda … gimana kabarnya?” Sang kakak dengan nama Radian atau kerap disapa Radi itu pun lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

“Kalo Abang gak bunuh si brengsek dan antek-anteknya itu, Bunda gak bakal napas hari ini.” Dzaka langsung beranjak dari duduknya. “Jadi Abang jangan pernah nyesal udah bunuh itu setan-setan.”

Setelah mengatakan kalimat yang cukup menusuk itu, Dzaka memilih untuk langsung pergi. Kepalanya sedang tertalu panas untuk meladeni ocehan sang kakak. Ketika luka di masa lalu itu terbuka sedikit saja, rasanya Dzaka langsung berubah jadi sangat sensitif bahkan terhadap udara yang melewati tubuhnya.

***

Hari pun berlalu. Kini kelas XI IPA 4 sedang dalam pengajaran oleh Bu Siti sebagai guru BK. Ya, mata pelajaran Bimbingan Konseling yang biasanya memiliki dua akhir: kalau tidak jam kosong, berarti akan terisi dengan debat paling merepotkan di negeri wakanda ini.

“Nah, itu tadi sekilas Ibu bahas soal pemikiran dari para filsuf tentang agama dan Tuhan.” Bu Siti telah bekerja keras dalam mengumpulkan materi agar anak-anak di sini bisa memahami apa yang juga tengah ia kaji.

“Oke ….” Bu Siti menengok ke atas papan tulis, ada jam dinding yang menunjukkan jam pelajarannya akan segera berakhir sekitar sepuluh menit lagi.

“Anak-anak, habis ini mata pelajaran apa dan siapa yang ngajar?”

“PKN sama Pak Anton,” jawab Monisa cepat. Ada juga beberapa suara lain yang ikut menjawab. Hanya saja sahutan Monisa lebih tegas, nyaring, dan jelas dari pada suara anak-anak lain.

“Oh, berarti masih sempat.”  Bu Siti tersenyum. Tapi entah kenapa terasa ada yang ganjal dari wajah guru itu. “Kalian bisa lepas dari PR kalau bisa jawab ini. Satu pun boleh. Lebih malah bagus.”

Langsung terdengar decakan kesal beserta jeritan frustasi dari anak-anak, yang malah jadi pemandangan indah tersendiri bagi guru yang satu ini.

“Soalnya mudah aja. Ibu akan bacakan dan kalian dengar baik-baik. Gak usah dicatat. Jawab spontan pun ini pasti bisa kalau kalian memerhatikan apa yang Ibu jelasin tadi.”

Pasangan PrikkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang