Sepertinya matahari sedang tersenyum saat waktu istirahatnya menerangi bumi perlahan tiba, pancarannya indah yang membuat suasana damai tercipta.
Kilau senja menelusup masuk ke tirai jendela kaca yang terbuka. Ini adalah kamar yang tepat sebagai tempat pemulihan.
Setelah kasur ditata senyaman mungkin, Ryan menaruh beban dibelakang punggungnya ke atas permukaan brankar dengan perlahan.
“S-silahkan datang ke administrasi setelah ini.”
Dia reflek menoleh kearah suster ketika sebelumnya melihat wajah kesenangan gadis alien. Mengangguk singkat sebagai jawaban. Dia yakin, wanita itu masih mengingat peringatannya kemarin saat melakukan kesalahan. Suster mulai keluar dari ruangan.
Akibat terlampau senang dengan suasana, Sonya tak memedulikan keadaan lemahnya dan langsung melompat keluar kasur.
Sial, satu kakinya tersangkut dikaki yang lain saat ingin berlari. Terjerembab ke lantai, keningnya beradu dengan ubin dingin hingga benturan keras terdengar.
Kepala Ryan spontan tertoleh, badan besi yang sedang diambang udara ingin terjatuh menggerakkan tangannya dengan sigap.
Dia berjalan cepat menuju gadis yang masih terbaring dilantai. Perasaan kalut langsung membuat ekspresi wajah yang selama ini datar dan hambar menjadi begitu cemas. “Nya.” Berjongkok, dia mengangkat badan ringan gadis itu hingga...
“Ba.” Tersentak kecil saat laki-laki itu mendudukinya diatas kasur dalam satu gerakan singkat. Sonya merubah ekspresi menjadi cemberut.
Ini defenisi manusia akhlakless. Sudah membuat jantungnya hampir jatuh, darah meluncur dengan keringat dingin, dan wajah itu dengan tanpa dosanya tercengir.
Sekarang yang Ryan lakukan adalah berandai-andai dia sedang menggusar wajah yang bahkan lebih kecil dari jarinya dengan kepalan lalu menghempasnya setelah diberi smack down kemudian tinggalkan. Tapi rasa manusiawi masih mendominasi.
“Lo tuh...” Bahkan saking emosi yang menjadi, mulutnya menjadi terkunci. Menaruh kedua tangan dipinggang, Ryan mondar-mandir memikirkan cara bagaimana agar bara api dikepalanya berhenti bergemelatuk.
Sonya menunduk. “M-maaf—”
“Makanya jangan lasak!” Ujarnya keras tanpa sadar. Tatapan tajamnya mengarah pada rambut gadis itu karena sibuk menunduk.
Tidak tahu-kah manusia menyebalkan itu kalau dia sangat khawatir? Khawatir saat keluarganya sudah menghubungi, namun ketika menjemput keranda diharuskan menyertai. Cringe. Sekolahnya masih belum tamat, cita-cita belum tercapai, dan dia ogah sekali masa depannya mendekam dipenjara.
Ryan menurunkan kedua tangan dari pinggang, melangkah ia mendekati manusia alien. “Denger, ya. Lo itu sensitif dan kurus, jadi tolong jaga diri baik-baik.”
Selain menunduk, tidak ada yang bisa dia lakukan saat tahu besarnya kesalahan. Laki-laki itu menyeramkan saat marah, apalagi kata-katanya tak main-main menusuk ulu hati.
“Ngerti?” Desis itu menyimpan tekanan amarah yang mengerikan.
Sonya mengangguk kontan takut laki-laki itu semakin berang, keadaan kepalanya masih menunduk menyimpan rundung air mata.
“Kening lo?”
“Hah?”
Gadis itu mendongak dengan tangan yang langsung meraba bagian yang dia ucapkan. “Eh!” Spontan tangannya menarik pergelangan tangan Sonya menjauh. Merasakannya saja sakit, bagaimana ketika diraba? Apalagi ukuran benjolnya benar-benar setara dengan bunyi yang dihasilkan, sekarang dahi gadis itu membiru pada bagian tengah dan merah sekelilingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fav Pet
RomanceKehidupan yang Ryan jalani selama satu tahun ini berjalan mulus tanpa kendala. Monoton lebih tepatnya. Kegiatan rutinnya untuk melupakan 'gadis edelweiss, adalah bergelut dengan kucing-kucing baru peliharaannya. Bukan kucing oren atau kucing imut...