Matahari kelihatan sudah meng-ufuk, teriknya mulai berasa. Untung saja ada sengatan sang surya, kalau tidak pasti dia masih bergelung dalam alam mimpi dan melupakan sekolah.Mengambil gerakan kilat, yakni berlari ke kamar mandi sambil menyumpah serapahi satu-satunya manusia didalam ruangan ini selain dirinya. Sonya. Apa gadis itu tidak ingin membanguni-nya untuk sekolah?! Atau bahkan tidak tahu jadwal hari?
Ryan tak lagi memedulikan tidak adanya keberadaan gadis itu didalam rubrik yang mereka huni semalam. Langsung membuka pintu kamar mandi tergesa dan masuk kedalamnya.
Pemandangan lain membuat Ryan melotot, mereka sama-sama terkejut dan ia segera menutup mata.
"Enggak, kok, enggak! Sonya masih pake baju!" Ujar Sonya cepat memberi klarifikasi. Dari duduk bersila di keramik wastafel, Sonya turun menghadap Ryan dengan takut-takut. "Maaf, ya." Aneh. Siapa yang salah, siapa yang minta maaf.
"Makanya!" Ryan membuka penutup mata, menyingkirkan tubuh Sonya yang menghalanginya untuk berdiri di depan wastafel.
Sonya memajukan bibir ketika badannya terhuyung kesamping. Dia melihat cowok itu menggosok gigi dengan gerakan cepat dari pantulan kaca. Tatapan mereka bertubrukan, Sonya mengedip-kedip kemudian segera berjalan maju. Mengambil gelas bekas kumur-kumur yang sempat dia gunakan, untuk dibilas dan diisi air baru. "Ini. Tadi abis Nya pake. Sekarang udah enggak ada bekas Nya lagi, kok."
Ryan menoleh, memandang Sonya secara langsung dan menerima apa yang gadis itu sodorkan. Melakukan kumur-kumur, kemudian membuangnya. Membungkukkan badan kemudian mencuci mukanya di kran.
Setia memperhatikan gerak-gerik Ryan, bahkan ketika pria itu menegakkan punggung dan membalas tatapannya tak membuat Sonya mundur.
"Apa?!"
Sontak saja kepala Sonya tersentak kebelakang. Laki-laki ini tiada hari tanpa bentakan. Untung dia punya hati yang kuat. Huh. "Eh, tunggu!" Sonya mengejar cowok galak yang semula sudah mengambil langkah meninggalkannya.
Ryan memandang begitu datar, bahkan terkesan malas. Apalagi yang ingin dilakukan gadis random ini? "Cepet gue mau sekolah!" Sonya tak mengindahkan, gadis itu mendekat dan berjinjit didepannya. Ryan mengedip-kedip, reflek menjauhkan kepala ketika tersadar posisi mereka terlalu dekat. Sebelah tangan gadis itu terulur keatas, sebelah lagi tak sengaja bertumpu di dada sebelah kirinya.
Agak lain, seperti sebuah sihir, dia hanya bisa terpaku ketika Sonya mengusap ujung mulutnya menggunakan ibu jari dengan menatap objek yang sedang menjadi pusat kegiatan gadis itu.
Sonya kembali menjauh, menciptakan jarak hingga tinggi mereka kembali terlihat kentara jauh berbeda. "Nya cuma enggak mau kamu malu bawa ini kesekolah." Mengangkat ibu jarinya yang terdapat secuil pasta gigi, dengan senyum tulus yang tampak tak dibuat-buat menyertai. Dia segera berlalu memasuki ke kamar mandi untuk mencuci tangan.
Ryan berbalik kepala dengan alis menukik tak suka. Menatap tajam pemilik rambut yang mulai menjauh. "Kupret!" Umpatnya pelan, tanpa membuang waktu segera melangkah keluar masih dengan wajah tak habis pikir.
• • •
Dari pagi, sampai siang yang terik seperti saat ini hati Sonya tak berhenti-nya berbunga-bunga. Dia berjalan-jalan di koridod rumah sakit, turun ke taman, menyapa anak-anak, dan banyak kegiatan luar yang dianggap menyenangkan.
Tak ingat waktu, tak ingat tempat, bahkan kini tak terasa posisi-nya sudah berada didekat gerbang keluarnya kendaraan parkiran rumah sakit. Seolah sengatan pedih matahari tak memengaruhi kulitnya yang mulai bermerahan. Bahkan memunculkan ruam-ruam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fav Pet
RomanceKehidupan yang Ryan jalani selama satu tahun ini berjalan mulus tanpa kendala. Monoton lebih tepatnya. Kegiatan rutinnya untuk melupakan 'gadis edelweiss, adalah bergelut dengan kucing-kucing baru peliharaannya. Bukan kucing oren atau kucing imut...