Sehabis tes, tidak ada lagi yang perlu mahasiswa baru lakukan karena belum jadi penentu bisa lolos atau tidak ke fakultas yang diinginkan. Biasanya, kalau sudah terdaftar, kemungkinan lolos lebih besar. Mungkin saja sebagai penempatan mahasiswa ke ruangan dengan pembagian isi kepala yang sama rata.Gedung universitas selalu saja ramai, mahasiswa/i bagian Senior melakukan kegiatan prodi sesuai dengan jadwal yang mereka tetapkan sendiri. Maka dari itu Sonya disuruh menunggu Ryan di halte yang memiliki jarak cukup jauh dari tempat mereka kuliah.
Selain kecanduan belajar Biologi, Sonya juga sedang candu memainkan benda pipih berlogo apel yang sedang dia genggam. Selain whatsapp yang hanya memiliki kontak dua orang: Ryan dan Teti Nin, Sonya juga memiliki banyak permainan di hape-nya. Sudah persis seperti gadget anak TK.
Tidak memainkan sosmed lain, karena dengan sosial media, apa saja mudah tersebar ke segala penjuru dunia. Keberadaan Sonya yang seperti ini, pasti akan gampang ditemukan oleh keluarga-nya. Kira-kira, begitulah wajengan Ryan ketika melarang dirinya ingin diajarkan memfungsikan sosmed.
Sedang asyik menyendiri, tiba-tiba seseorang datang dan langsung mengambil tempat duduk disebelahnya. Sonya menoleh sekilas, namun kembali memusatkan perhatian pada lelaki dewasa berkemeja putih dengan celana bahan hitam yang melekat ditubuh proposional itu. "Mr. Alex." Sonya menyapa dosen yang menjadi petugas jaga ruangan tadi dengan ramah dan terlalu santun, punggungnya sudah menegak dengan tubuh lebih serong menghadap Mr. Alex. Sikap hormat yang kelewat formal ini sudah pasti ajaran teti Nin.
Saat memperkenalkan diri, dosen bernama lengkap Alex John mengatakan bahwa lelaki itu lulusan universitas luar negeri sebagai mahasiswa undangan. Sudah jago bahasa inggris, dosen mata pelajaran Biologi bagian besar pula. Maka dari itu Sonya harus hormat, dan menyegani lelaki itu.
"Belum pulang, Sonya?"
Sonya mengedip-kedip. Selain pintar, Mr. Alex juga mudah mengingat setiap nama mahasiswa dan mahasiswinya padahal baru sekali ketemu. Sonya semakin dibikin takjub. "Belum, Mr. Aku lagi nunggu jemputan."
Mendengar tutur kata lemah lembut dari suara halus, membuat Alex menoleh kesamping. Menatap gadis itu dari balik kacamata hitam yang tertaruh mantap diatas hidung tinggi, sedikit mengerut heran. Saat semua orang memanggil diri sendiri dengan 'saya', atau paling tidak panggilan anak remaja yang paling dominan adalah 'gue', gadis itu justru 'aku'. "Enggak usah terlalu baku kalau lagi diluar."
"Baku? Aku enggak lagi ngomong baku, Mr." Ujar Sonya memberi tahu.
"Kalau gitu, panggil saya 'Kak' saat diluar prodi."
Sonya mengedip-kedip sebentar, kemudian kembali bersuara. "Aku rasa, enggak sopan, Mr."
"Sopanin aja."
Sonya cengo. Mengapa gelagat wibawa nan penuh aura memiliki segudang ilmu biologi Mr. Alex malah menghilang sekarang? Saat tadi dikelas lelaki itu selalu berdiri tegak dan berlaku gagah yang patut ditakuti, namun kini menyandarkan punggung dengan nyaman ke sandaran kursi panjang halte. Satu kaki Mr. Alex tertaruh diatas kaki yang lain, kedua kaki dibagian bawahnya bergerak-gerak santai.
Mr. Alex melipat kedua tangan didepan perut, memutar kepala untuk menatap salah satu mahasiswi-nya. "Kenapa?"
Sonya langsung menggeleng, mendadak merasa canggung. "E-enggak. Mr. Alex nunggu jemputan juga?" Sonya memulai obrolan demi mengikis suasana canggung agar menipis.
"Nggak."
"Lalu?"
"Liat kamu ada disini."
Sonya mengerjap penuh tanya. "Maaf, Mr. Aku ada urusan apa, ya, sama Mr?"
Tin!
Belum sempat Mr. Alex menjawab pertanyaan-nya, sebuah mobil sudah menepi didekat mereka. Sonya langsung berdiri, menghadap Mr. Alex yang ikut berdiri, tak lupa ia merundukkan punggung. "Maaf, Mr. Alex, aku udah dijemput. Terima kasih, ya, atas obrolan-nya. Sonya pergi dulu."
Mr. Alex mengangguk sekali sembari menatap punggung Sonya yang mulai memasuki mobil hitam mengkilap. Namun seperti ada yang mengganjal, membuat Alex kembali melihat mobil hitam itu setelah sempat terdiam sejenak. Alex berdiri seperti sedang memastikan, namun mobil semakin jauh melaju dan hilang tertelan belokan.
• • •
"Dosen lo?"
Sonya menatap Ryan dari samping, tas kecil berwarna hitamnya langsung ditaruh ke kursi belakang ketika dirasa mengganggu. Dia mengangguk cepat. "Iya, Pu. Namanya Mr. Alex. Pinter! Lulusan luar negeri, bimbingan mata pelajaran Biologi sebagian besar. Wahhh!" Sonya bertepuk-tepuk tangan.
"Oh."
Sonya sudah terbiasa dengan laku manusia cosplay kulkas itu, jadi dia kembali menghadap depan dengan raut suka cita. Yang paling Sonya suka itu, saat berada diperjalanan didalam mobil. Banyak pengendara roda empat dan roda dua dengan ragam bentuk, jalanan ibu kota juga damai dengan warga yang terlihat tenteram pula.
Ryan yang melihat itu, menggeleng heran. Apa mulut gadis itu tidak kebas saat terus saja tersenyum?
Sonya menoleh menatap Ryan, jari telunjuknya tertempel didagu. Khas Sonya ketika sedang berpikir. "Pu, jadi ternyata gadis yang sering kamu kangenin itu Tessa? Ara sama dengan Tessa?"
Ryan menatap Sonya secara sekilas, raut dinginnya mendadak berubah semakin murung. "Enggak."
"Terus? Jadi mantan-mu Ara apa—"
"Nggak usah dibahas."
Namun, rasa ingin tahu Sonya makin tinggi hingga menabrak dinding larangan Ryan yang biasa gadis itu turuti. "Aku cuma nanya aja, Pu. Atau Ara sama Tessa itu beda orang tapi sama-sama—"
"Nggak usah nanya, Sonya!"
Sonya tersentak dengan suara bentakan dari suara berat itu. Tak sampai disitu, Ryan membuatnya makin panas dingin menahan takut yang berlebihan, ketika mobil ditepikan ke pinggir jalan. Sonya gelisah ditempat, Ryan sudah menghadapnya dengan muka tegang yang menakutkan.
Ryan menaruh tangan disisi kursi penumpang, wajahnya dicondongkan ke depan wajah Sonya. "Apa gue pernah nanya soal keluarga lo, atau identitas lo saat merasa penasaran?"
Desus tajam itu benar bikin menggigil, Sonya menggeleng pelan. Sungguh menahan tangis.
"Maka dari itu, jangan pernah lagi bahas apapun soal gue. Kita tetap orang asing yang saling jaga privasi masing-masing." Ryan makin dekat dengan Sonya, memberi peringatan dan juga penekanan jelas. "Kalau lo berpikir, gue menganggap lo sebagai orang spesial, lo salah, Sonya. Enggak ada bayangan Ara, kita mustahil bisa sedekat ini."
Sonya terdiam bagai patung yang baru saja dikutuk oleh sumpah yang dilempar seseorang untuknya. Namun, mata yang berlinangan sejak tadi, menjatuhkan bulir beling. Mengalir di pipi, Sonya segera menghapusnya. Dadanya entah mengapa kian memberat, kali ke dua dia rasakan, namun yang ini jauh lebih menyakitkan. Sonya menepuk-nepuk dadanya sendiri, dia masih belum paham dan malah melirih mengadu. "Bisa antarin aku ke rumah sakit? Dada Nya sakit, Pu..."
• • •
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fav Pet
RomanceKehidupan yang Ryan jalani selama satu tahun ini berjalan mulus tanpa kendala. Monoton lebih tepatnya. Kegiatan rutinnya untuk melupakan 'gadis edelweiss, adalah bergelut dengan kucing-kucing baru peliharaannya. Bukan kucing oren atau kucing imut...