"Kak! Jadi gimana sama Sonya? Keberadaan-nya ditemukan?""Kak!"
"Kak Nin!"
"Woi, Nindya!"
Nindya mengangkat kepala yang bersandar dijendela mobil dengan kesal, menghadap Adik laki-lakinya menggunakan ekspresi kusut. "Berisik, ah! Kakak ngantuk, capek habis ngajar. Jadi, simpan pertanyaanmu sampai nanti! Bye!"
Lelaki itu, Stefen. Kalau rahang bisa terlepas, mungkin miliknya sekarang bisa terjatuh kebawah. Kakak-nya ini memang berbeda-beda kepribadian diluar dan didalam lingkungan sekolah. "Gimana bisa tenang, Kak? Epen khawatir sama Nya. Epen udah hubungin nomer itu, bahkan nyebutin nama lengkap, tempat tanggal lahir, dan bahkan tanda lahir, sampai kirim gambar muka Sonya. Tapi cuma di read! Identitas Epen jelas, kok. Epen pake poto profil muka." Ocehnya panjang lebar memberikan rincian tanpa sisa.
"Itu karena Kakak yang udah dibales duluan! Ha-ha-ha..."
Wajah Stefen semakin mengerut gelisah, merasa tak sabaran ingin tahu dimana keberadaan gadis itu. "Ya, jadi dimana? Epen juga pengen tau, Kak." Ucapnya memohon.
Bu Nindya menggeleng, matanya mulai terpejam. Mengibaskan tangan ke depan wajah Stefen, pertanda sudah tidak mau membahas topik ini. "Kalau Kakak kasih tahu, kamu akan sering berkunjung kesana. Keberadaan Sonya terancam, sementara keluarga-nya masih belum membaik."
Stefen menunduk, menyembunyikan sedih.
"Intinya Sonya ditangan orang yang tepat, Boy. Akan ada waktunya kita lihat cewek itu. Okey?" Merasa kasihan dengan Adik laki-lakinya, guru muda itu mengusap-usap bahu lebar Stefen sembari tersenyum menenangkan.
• • •"Assalamualaikum." Serentak dengan salamnya, kaki Ryan memasuki rumah. Padahal baru pulang sekolah, loh. Tapi Sonya sudah memancing keki.
Melihat munculnya keberadaannya, gadis itu langsung berlari dari arah dapur menuju kamar. Bahkan, sempat-sempatnya menyambar toples berisi makanan ringan untuk dibawa masuk ke kamar. Kembali berlari mengaburkan diri, karet rambut yang terlepas tak gadis itu pedulikan. Ryan mendengus dongkol, membanting pintu dengan sengaja hingga menciptakan benturan kuat.
Terserah, dia tidak peduli kalau Sonya akan semakin takut padanya.
Tubuh jangkungnya merunduk untuk memungut karet rambut berwarna hitam, Ryan memainkannya dengan memutar benda itu menggunakan dua jari telunjuk sembari melangkah memasuki kamar.
• • •
Sudah hampir sore, bahkan mendekati maghrib. Sonya belum juga mau keluar dari kamar. Gadis itu belum makan siang, sementara makanan sudah sejak tadi diantar oleh grab orderan-nya.
Ingin mengetuk pintu, tapi Ryan gengsi. Sekarang ini yang butuh makan siapa? Tidak seharusnya Ryan mengurusi makan Sonya yang sudah dewasa. Umur saja yang dewasa, kelakuan gadis itu nyaris seperti balita.
Akhirnya, Ryan melangkah juga dengan kaki jenjangnya yang terbuka karena mengenakan celana pendek santai, dipadu kaos hitam membuatnya tampak selalu kece meski dirumah saja. Mulai mengetok pintu kamar yang dihuni terlalu damai, kemudian mendekatkan wajahnya ke sela-sela pintu untuk mulai bersuara. "Mau lanjut hidup apa mati?"
"Lanjut hidup!"
Jawaban kontan dari dalam menandakan kesungguhan. Ryan dibuat menahan emosi yang membeludak menginginkan mendobrak pintu ini. "Kalau gitu keluar. Makan."
"Aku takut!"
Ryan menggigit bibir bawah merasa geram. "Gue masuk kamar, lo keluar." Putus Ryan akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fav Pet
RomanceKehidupan yang Ryan jalani selama satu tahun ini berjalan mulus tanpa kendala. Monoton lebih tepatnya. Kegiatan rutinnya untuk melupakan 'gadis edelweiss, adalah bergelut dengan kucing-kucing baru peliharaannya. Bukan kucing oren atau kucing imut...