Ada beberapa opsi yang sudah terencana dikepala agar suasana tenang kembali didapatkan.
Pertama, menendang duo kisruh agar mobil-nya kembali berjalan dengan tenang. Kegemarannya yang ingin terus mengendarai mesin beroda empat, harus terus dihambat akibat yang satu ini.
Kedua, mengambil kiprah kilat yakni menghapus mereka dari list pertemanan agar tumpangan-tumpangan gratis tak terjadi lagi.
Akibat merantau di kota asri ini, mereka keseringan meninggalkan motor ditempat tinggal masing-masing karena kehabisan minyaknya. Padahal, uang sudah dikirim. Tapi, mereka tak pandai mengolahnya hingga terkadang untuk makan pun bertamu kerumah Ryan.
Tapi jatuhnya tetap berdiri diambang nyawa. Sudah kenyang, sih. Namun dua teman Ryan yang lain selalu membuat mereka ketar-ketir dalam mengendalikan takut.
Ciiittt....
Mobil dihentikan secara mendadak, Gilang dan Angga serentak terhempas ke depan hingga gelutan mereka terpaksa dihentikan.
“Mau ribut keluar.”
Angga mengusap dahi-nya yang terbentur sandaran kepala disebelah pengemudi. “Tuh, Gil. Kalau mau ribut, keluar.”
“Dih, kok gue doang, Anjas. Lo juga, Nyemot.”
“Tapi lo yang mancing, oncom. Lo maling pena hasil jarah gue, kan?! Ngaku, lo!”
“Ini anak.” Suara Gilang terdengar menggeram. Tentu saja kesal ketika dituduh maling oleh seorang pemaling. “Mungkin pena lo jatuh, monyet!”
“Ah, boong, lo!”
“Kagak percaya temen sendiri. Parah, jadi selama ini lo anggap gue apa?”
Ryan mendesis emosi, merasa sia-sia dalam menghentikan perdebatan manusia bodoh. Dia melajukan mobil dengan api emosi menyertai.
“Monyet.”
“Mending monyet. Dari pada temen lo yang disana itu.”
Angga menangkap maksud Gilang. Dia melirik kearah spion depan yang menampilkan mata elang milik orang didepan. “Kenapa temen gue yang disana?”
“Itu, lah. Kulkas tanpa pintu.”
“Kulkas PUBG, dong?”
“Nah!”
Ryan menatap tajam ke spion, tatapan elang dia layangkan langsung untuk mereka yang sedang menatapnya menantang. “Itu mulut apa ember dirongsokan yang pecah-pecah?”
Gilang dan Angga serentak menjatuhkan rahang. Ucapan Ryan pedas-nya tidak kira-kira memang. Menusuk hingga tembus kedasar terdalam ulu hati.
• • •
Jangan kira emosinya tadi dianggap main-main, sekarang balasan untuk mereka yang suka mengganggu ketenangan adalah hewan-hewan kesayangannya dibebaskan didalam rumah.
“WEH! RYAN... TOLONG...” Mencari masalah dengan Ryan memang bukan jalan yang tepat, bahkan sedari dulu. Balasannya akan lebih sadis dari kesalahan yang diperbuat. Sekarang Gilang berada diantara hidup dan mati, terpeleset sedikit saja tangannya maka peliharaan jantan Ryan sore ini akan merasakan nikmatnya daging manusia. “TANGAN GUE PEGEL, ANJIR. WOI PAWANG MANA PAWANG.” Miris melihat keadaannya yang bergelantung dipentilasi rumah, sementara kaki dia selamatkan ke rak tv yang terbuat dari kaca.
Angga mengeratkan pelukan ditiang tengah-tengah rumah dengan pertahanan pusat yang tertumpu ditelapak kaki. Dia melongokkan kepala kebawah. “Kucing yang manis, dihari yang panas ini bahkan tak membuat dirimu kehilangan cantik diparas indahmu. Dan akan jauh lebih indah jika kamu mundur dan membiarkanku turun.” Cheetah betina diberi kata-kata manis, otak Angga perlu diservis sepertinya.
“Pakboi lo kagak kenal objek, Anj!”
“Diem, lo, anjir. Ini demi keselamatan dunia per-Pakboi-an agar tetap panjang umur.”
Ryan datang dari dapur dengan sebatang rokok ditangan, berlagak tak terjadi apapun. Ryan kelewat tenang dibanding teman-temannya yang ketar-ketir ketakutan. “Chicka-Chicko, tunggu aja. Itu makanan kalian sampai dua hari kedepan.”
“RYAAAN....”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fav Pet
RomanceKehidupan yang Ryan jalani selama satu tahun ini berjalan mulus tanpa kendala. Monoton lebih tepatnya. Kegiatan rutinnya untuk melupakan 'gadis edelweiss, adalah bergelut dengan kucing-kucing baru peliharaannya. Bukan kucing oren atau kucing imut...