19.|Organ Reproduksi]

114 16 0
                                    




Cinta masa kecil, mustahil bisa dihilangkan begitu saja. Pun bisa bangkit dari masa lalu, pasti tetap meninggalkan jejak berarti dihati bagi orang yang dicintai.

Melihat cara Ryan yang kemarin, lelaki itu laksana gentle yang seperti mudah mengikhlaskan gadis dihatinya bersama lelaki lain.

Padahal, mereka semua tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Ryan sepi, terpuruk sendirian. Sakit, dadanya sakit seperti sedang diserbu jutaan anak panah. Tenang didepan mereka semua, namun dia kalut dan hampir mengguncang dunia saat sendiri.

Mengingat masa lalu yang suram, selalu berhasil membuatnya merana. Berakhir bergelut dengan kedua pawang-nya. Ryan defenisi sadboy yang menumpahkan kesedihan-nya lewat gelutan bersama dua hewan buasnya.

Niatnya ingin menghampiri Chicka dan Chicko, padahal masih mengenakan pakaian lengkap sekolah. Ingatan itu tak menentu kapan mampir dimemori.

Namun sebelum itu, Ryan berhenti didepan meja, menghadap Sonya yang sedang serius menulis namun langsung menyadari keberadaan-nya. Senyum ramah sekaligus manis langsung diumbar teruntuk dirinya.

"Pu udah pulang sekolah? Nya hampir enggak nyadarin, loh." Ucap Sonya cengengesan. Tapi, tak ada respon berlebihan dari lelaki itu selain wajah hambar. Sonya melarikan bola matanya ketika dilanda kikuk. "Yaudah... Aku lanjut belajar lagi, ya, Pu." Kemudian Sonya langsung menunduk untuk kembali menulis dengan serius.

Ryan melangkah mendekat setelah melempar tas sekolahnya ke sembarang sofa. Duduk diatas sofa persis dibelakang Sonya, sementara gadis itu bersila kaki dilantai. Ryan langsung merunduk, kedua tangan yang panjang dan besar dia lingkarkan ke perut Sonya. Sementara itu, dagu-nya bertumpu di bahu mungil itu. Wangi vanilla membuat hati yang sebelumnya risau, perlahan-lahan mulai tenang. "Sebentar."

Sonya sedikit merotasikan kepala sebagai partisipasi lebih mudah ketika berbicara dengan Ryan. "Kok, Pu, peluk aku?" Bukankah biasanya lelaki itu enggan berdekatan dengan-nya? Bahkan, pertama kali bertemu malah seperti jijik menyentuh kulitnya. Kali kedua Sonya dibikin bingung sekaligus resah. Entahlah, Ryan yang seperti ini bagai jadi ganjalan aneh diraga-nya. Tapi Sonya tak paham betul maksud terselubung dari sinyal ditubuhnya ini.

"Enggak boleh?"

Sonya langsung menggeleng cepat. "Enggak, kok. Nya tanya aja. Bukan-nya kamu harus mandi dulu? Kan, gerah pulang sekolah."

Ryan mengangguk ringan. Ditenggelamkan-nya wajah didalam ceruk leher Sonya, baru lah berbicara. "Gue kangen."

Sonya mengerjap cepat. "Kangen aku?"

"Bukan."

"Terus? Ara?"

"Iya."

Sonya tertawa kecil, reflek kepalanya menunduk secara sekilas. Mengapa dadanya sesak, ya? Oh, maklum, Sonya divonis menjadi orang tersensitif hingga bila merasakan sesak didada saja adalah hal yang wajar. "Nya kepedean banget, ya." Kemudian, kembali memfokuskan mata ke buku tulis yang masih terbuka untuk melanjutkan tulisannya. Tanpa sadar, satu tangan Sonya yang menganggur, menepuk-nepuk dadanya pelan-pelan.

Merasa penasaran, mata Ryan bergerak menatap untaian tulisan rapi yang keluar dari bolpoin atas kendali tangan Sonya, kemudian bergulir menatap wajah penuh keseriusan itu dari samping. "Belajar apa?"

"Biologi." Jawab Sonya riang. Namun, beberapa detik kemudian wajahnya berubah cemberut, melepas pena dari tangan dan lantas menghadapkan wajah ke depan wajah Ryan. Membuat muka mereka saling berhadapan. "Bu Andra suruh aku gambarin organ reproduksi sekaligus nama dan penjelasan-nya, Pu. Pas besok, baru bu Andra jelasin."

Ryan mengangguk sekali pertanda mendengarkan penjelasan Sonya barusan. "Di kelas sebelas udah ada materi reproduksi manusia, kan? Kelas dua belas tinggal mengulang dan pahami lebih dalam. Kesulitannya?"

My Fav PetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang