Kala itu, saat Sonya masih dibuat terheran-heran akan pancaran Ryan yang tidak biasa, lelaki itu justru membuatnya semakin termangu tanpa mampu bergerak.Tiba-tiba saja, Sonya dipeluk. Begitu hangat, terlalu melenceng dari laku Ryan yang selama ini dingin dan kaku. Bahkan usapan dipunggung dia rasakan, membuat Sonya semakin menjadi patung ditempat.
Ternyata, tidak hanya itu. Bahkan setiba-nya didalam mobil yang melaju normal menuju rumah, Ryan tak hentinya menggenggam satu jemarinya. Terlalu erat, terlalu lengket, Sonya tak berani melepasnya.
Kebanyakan kaget akan perubahan sikap, acapkali membuat Sonya tersentak. Tadi dibukakan pintu mobil, sekarang dia melihat sebuah senyum yang tercipta dibibir itu. Sonya terperangah. Selalu melihat wajah tampan dengan ekspresi galak dari awal bertemu tatap, pertama kalinya Sonya diperlihatkan senyuman indah itu. Ia sungguh dibuat ling-lung, tak paham apapun.
Atau... Seluruh manusia kelakuan-nya memang berubah-ubah?
"Ayo, masuk. Kok, menung?" Sudah lama tak mendengar suara penuh perhatian dari seorang Ryan, kini kembali mengalun ditelinga. Andai semua orang yang kehilangan sisi Ryan yang dulu, kini pasti sudah bersorak girang ketika kelakuan hangat dan perhatian-nya telah kembali. Bahkan mengulurkan satu tangan ke depan, yang diterima langsung oleh gadis didepan-nya.
Tak terkecuali Sonya, dia menerima uluran itu dengan riang ketika merasa senang. Genggaman itu mengerat, bagai pegangan takut kehilangan. Dirinya ditarik mendekat, dan kembali masuk ke dalam dekapan. Sonya tersenyum meski pancaran-nya jelas mengkilau bingung. Wangi mint dan maskulin yang disatukan, menyeruak dari tubuh Ryan sungguh menghantar nyaman.
"Ara, lo enggak akan pergi cepet-cepet, kan?" Terselip nada memohon dari gelombang pita suaranya, itu kentara karena terdengar serak.
Sonya mengerjap dibalik dada itu. Ara? Siapa Ara? "Ini aku Sonya, Pu. Ara siapa?"
Deg!
Dunia langsung berubah, seakan hidup tanpa suara. Hanya dengung yang memekak-kan telinga ketika pikiran Ryan sedang pro dan kontra. Sontak kepalanya menunduk, memastikan bahwa suara barusan mengada-ada.
Masih dress bermotif buah-buahan, rambut panjang bergelombang yang berwarna kecokelatan, serta sepatu flat shoes putih yang membalut di kaki seputih susu. Semua menggambarkan Ara, mengapa jadi Sonya? Kalau ini Ara, Sonya yang menjadi beban-nya mana?
Mata Ryan yang sendu, seketika membulat sempurna. Jelas menampakkan kemarahan, tangan-nya jadi tak sengaja mendorong Sonya menjauh. Membuat tubuh belakang gadis itu terhempas ke pintu yang sudah tertutup.
Sonya sendiri semakin dibikin tak paham oleh keadaan. Dia syok tingkat akut, apalagi mulai merasakan kekerasan. Bahu Sonya bergetar, kakinya lemas yang dikuat-kuatkan. "Kamu kenapa? Aku nggak ngerti sama kamu." Katanya gemetar, mata Sonya berair menahan sedih, takut, dan juga bingung. Kelakuan dari baik kembali jahat, menimbulkan rasa kecewa dihati kecilnya. Tak sengaja menabrak lengan Ryan yang masih diam ditempat, lantas Sonya berlari memasuki kamar dengan berderai air mata.
Ryan meluruhkan bahu, meremas rambutnya dengan kuat merasa kalut, bibirnya menipis pertanda menahan teriakan yang ingin keluar.
Selain marah, dia merasa malu. Dihadapan Sonya, dia terlihat seperti cowok mengidap penyakit mental. Tak hanya itu, halusinasinya sangat berlebihan. Jatuhnya malah keadaan Ryan yang kelihatan miris.
Satu pikiran yang terlintas. Ryan sudah berada diambang pintu menuju tempat bermain dua hewan buasnya. Hempasan pintu yang berlebihan, membuat duo kucing raksasa yang asyik bergelut itu jadi berbalik menatapnya.
Seperti paham dan sering terjadi, singa jantan dan cheetah betina itu mulai mengambil ancang-ancang. Mereka seperti sedang mempersiapkan diri untuk terserang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fav Pet
RomanceKehidupan yang Ryan jalani selama satu tahun ini berjalan mulus tanpa kendala. Monoton lebih tepatnya. Kegiatan rutinnya untuk melupakan 'gadis edelweiss, adalah bergelut dengan kucing-kucing baru peliharaannya. Bukan kucing oren atau kucing imut...