20. [First Day]

116 15 0
                                    



Masa kelas dua belas, rasanya masa melelahkan bagi semua pelajar sekolah. Melewati hari-hari dengan les, ditambah lagi deretan ujian-nya yang membuat kepala ingin pecah.

Sekarang sudah lulus, mereka memegang raport dengan bangga ketika mencapai nilai yang didapat menurut kerja keras masing-masing. Bagai bekal yang bisa dibawa untuk memasuki jenjang Perguruan Tinggi.

"THREE, TWO, ONE. KITA BISA! HA! HA! HA!"

Sering berkumpul dalam satu meja, membuat yel-yel dadakan tercipta begitu saja secara kompak. Gilang, Angga, Stefen, Giselle, dan Anjani. Mereka semua kembali menjauh setelah saling menyatukan tangan, kemudian tertawa bersama. Tentu saja pengecualian Ryan, dia menunduk sembari membuka layar hape. Selain menutup muka akibat malu dilihat calon mahasiswa lain, dirinya juga berniat menghubungi seseorang yang lain.

Berada disini juga, tapi jauh dari mereka. Karena Ryan sudah wanti-wanti sejak awal: ketika berada di kampus, anggap mereka tidak saling mengenal.

Banyak alasan-nya, salah satunya supaya semua orang tidak mengenal identitas Sonya dan sampai ke pihak keluarga yang sedang mencari-cari gadis itu.

"Ayo masuk ruangan masing-masing. Sebentar lagi lagi ujian!" Anjani paling heboh, dia tidak mau terlambat mengisi test untuk bisa diterima difakultas yang dia inginkan. Tangan-nya menarik-narik tangan Giselle yang membuat teman-nya itu marah.

"Sabar dulu, Anj. Gue mau pamit sama Ryan dulu!" Teriak Giselle menahan diri, namun Anjani semakin kencang menariknya hingga mereka mulai terpisah.

"Bodo amat, Njir. Gue aja enggak pake pamit-pamitan segala sama Gilang."

"Itu, kan, Lo!" Pekik Giselle, Anjani malah tertawa ngakak.

"Gilaaa! Gue tremor. Pengen pulang." Beda lagi dengan Angga yang mendadak cemas tak ketentuan. Dia bolak-balik dengan kedua tangan yang saling digesekkan. Bagaimana kalau ternyata gagal?

Gilang merangkul Angga, kemudian menariknya untuk keluar dari lapangan ini. Angga histeris panik, tangannya menjangkau tangan Ryan, namun lelaki itu mundur hingga tak kesampaian. "Kita yang satu fakultas pergi dulu, ya!" Pamit Gilang ringan. Namun, tubuhnya ikut lasak akibat tubuh Angga yang tak bisa diam. "Anjir ni anak dugong. Malu dilihat orang, Bodoh!" Cercanya seperti seorang Ayah yang marah pada anaknya yang baru ingin masuk TK.

Pada akhirnya, Angga menurut saja meski masih risau yang terpelihara diraut tampan-nya.

Ryan menggeleng-geleng sembari menempelkan handphone ke telinga ketika sudah menyambungkan telepon ke satu nomer.

"Gue duluan, lah, Bapak psikiater." Pamit Stefen menepuk bahu Ryan sekali.

"Oke, ahli matematika." Sahut Ryan tanpa intonasi nada yang berarti, namun jelas meledeknya.

Stefen berdecak keras, kemudian langsung berbalik untuk berjalan meninggalkan Ryan. Baru lah wajahnya berubah miris, bahkan hampir ingin menangis. "Anjir, ah! Nyesel punya Kakak guru matematika. Lihat angka udah bikin mata gue sakit, belegug!" Ocehnya yang dilihat banyak pasang mata. Terserah lah, Stefen tidak peduli. Dia tetap bersama ekspresi jengah dan malasnya, tanpa enggan memperlihatkan pada semua orang.

Sementara itu, Ryan juga langsung berbalik untuk berjalan menuju ruang test-nya. Ternyata, sambungan telepon sudah terhubung ke orang diseberang sana. Ryan cuma diam, Sonya juga terdiam.

"Kamu kebiasaan nelpon duluan tapi cuma diem. Kenapa, Pu?"

Suara halus yang keluar dari speaker terdengar kesal di awal, namun kembali merendahkan intonasi diakhir kalimat. Ryan mengamati orang-orang yang sibuk berlalu lalang melewatinya. "Udah mulai?"

My Fav PetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang