"CIPA. Dimana penderitanya yang tidak bisa merasakan sakit. Tubuhnya tidak bisa berbicara soalan apa saja yang sudah terjadi. Entah luka, lebam, terciprat air panas, digigit hewan, dan lain sebagainya."
Pernyataan itu tidak membuat Ryan terkejut lagi. Sudah banyak contoh yang dia lihat selama berada di sisi gadis itu, dan ternyata inilah alasannya. Ekspresinya sama. Tetap tidak beriak.
Sonya ikut mendengar dengan seksama. Selang infus kembali terpasang dimana-mana, dan nebo lagi-lagi menjadi alat bantu napasnya. Ini cukup membuatnya jengah.
"Ini cukup berbahaya. Potensi sekarat ketika terjadi cedera berat, sangat besar. Misal seperti tadi, jika tidak sadar dalam waktu cepat ada kaca yang mengoyak kakinya maka darah terbuang banyak." Sang dokter perawakan tinggi dan berusia paruh baya, menjelaskan pada lelaki SMA yang berdiri diseberangnya yang selalu menipiskan ekspresi wajah. Hal ini membuatnya bingung. "Lagi dan lagi penyakit langka, biasanya penyakit yang diturunkan dari gen orang tua." Kemudian matanya bergulir kearah pasien perempuan yang terbaring.
Sonya mengedip-kedip ketika ditatap.
"Orang tua-mu juga sama?" Tanya sang Dokter.
Ryan memerhatikan dengan seksama.
Sonya mengangguk, tapi kemudian menggeleng yang membuat dua lelaki yang berdiri dikedua sisi-nya mengeluarkan raut bingung. "Bunda juga enggak bisa ngerasain sakit kayak Nya. Enggak tau kalau Ayah, Dokter. Nya, kan, enggak boleh lihat Ayah."
• • •
"Lain kali kalau ditanya orang, jangan jawab terlalu jujur! Lihat? Gue ditatap jadi pacar jahat, lo diliat aneh."
"Cukup malu-maluin di lift, jangan yang lain!"
"Kalau penasaran, bisik ke gue. Jangan ngomong secara langsung seolah lo nggak punya salah."
Rasanya belum puas mengoceh panjang lebar mengenai laku Sonya yang anti-mainstream, masalahnya Ryan juga ikut tertarik tentang apa yang gadis itu lakukan dan mengemban malu sendirian. Berbalik cepat, menatap wajah gadis itu yang terbenam diantara rambut panjang. "Paham, nggak?!"
Sonya mengerjap, hampir bersuara terkesima. Ini adalah kali pertama Ryan berbicara panjang lebar sejak awal pertemuan mereka. Namun, melihat tatapan tajam keterlaluan itu segera membuatnya ciut. Seolah Sonya adalah dosa besar yang dibenci semua orang, kira-kira begitu tatapan yang Ryan layangkan. "P-paham... Maaf..." Ucap Sonya pasti sekaligus permintaan maaf pertanda menyesal.
Ryan melangkah lebar menghampiri Sonya yang sedang duduk ditepi brankar. Menurunkan tubuh demi mensejajarkan diri dengan tinggi kepala gadis itu, kedua tangan Ryan bertumpu dipermukaan brankar rumah sakit. "Angkat kepala."
Secepat itu, sebegitu takut dengan ekspresi Ryan yang kalau sudah marah sangat mengerikan, membuat Sonya langsung mendongak tanpa ba-bi-bu lagi. Sonya tidak perhatian dengan hidung mereka yang tak sengaja bersentuhan, karena pusat perhatiannya hanya didominasi oleh rasa takut dan selalu menurut agar lelaki didepannya tidak semakin berang.
Ryan memundurkan kepala, tersenyum miring didalam bathin. "Bagus. Udah mirip sama Chicka-Chicko. Lo harus selalu nurut sama gue."
Sonya mengangguk menyetujui tanpa mau mengerti makna kata yang Ryan lontarkan. "Aku harus panggil kamu apa?"
"Tuan Takur." Semprot Ryan kesal.
"Baik, Tuan Takur."
"Sianying. Ngeselin maneh!" Semprot Ryan tepat didepan muka Sonya yang kaget. Ryan emosional sejak tadi.
"Maaf." Cicit Sonya takut lagi. Dia ingin menunduk, tapi belum di izinkan. Menahan perasaan dihati, membuat matanya berair. Napas kasar berembus diarea wajah, membuat nyali Sonya semakin ciut.
"Kalau sulit manggil Ryan, cukup Putra." Putus Ryan akhirnya. Menegakkan tubuh, berdiri menjulang didepan gadis itu. Walaupun Ryan merasa janggal dengan nama sejuta umat itu.
Mata Sonya tetap mengikuti pergerakan Ryan, dia mengangguk menurut untuk yang kesekian kali. "Okey, Pu."
Ryan mengurut pangkal hidung. Terserah gadis itu saja, yang penting hatinya sudah diamankan dari pengaruh panggilan 'Rai'. Dia berbalik, berjalan kearah sofa untuk memungut tas sekolah. Berjalan menuju pintu, tatapannya jatuh pada Sonya yang menatapnya cemas namun tak berani mengeluarkan sepatah kata. "Kenapa?" Tanya Ryan akhirnya.
Napas Sonya bergetar. "Pu... Mau kemana?"
"Pulang."
"Nya ikut." Katanya memohon dengan hidung yang sudah merah. Menahan tangis pertanda terlalu takut ditinggal.
"Gue ke sini lagi abis kasih Chicka-Chicko makan." Sesungguhnya, Ryan sedang sangat menahan jengah. Kesulitan-nya setiap ingin pulang, adalah Sonya tidak ingin dia tinggal dirumah sakit.
"Kalau kamu nggak kesini lagi, gimana?"
"Enggak."
"Gimana kalau iya?"
Ryan merengut tajam. "Gimana lo bisa langsung mikir kayak gitu?"
Sonya mencicit takut-takut, namun suaranya jelas menggelombangkan kata, "Karena, kan, kamu sisiopat."
"Gue bukan psikopat! Kunaon otak sia belegug pisan?!" Cukup sudah dicap sebagai psikopat, Ryan sungguh tidak terima hingga berakhir mengoceh. Cuma karena Sonya dia sering berbicara panjang lebar, itu karena Sonya kelewat menyebalkan.
Sonya termangu. Detik selanjutnya, kepalanya menunduk, air mata tidak bisa lagi tertahan.
Sepi yang lama. Sonya sudah mengerti kalau lelaki itu sudah pergi. Namun, baru akan berani mendongak, kedua pasang kaki bersepatu sekolah sudah berada diubin dekat dengan brankar rumah sakitnya. Tidak sampai disitu, kepalanya tiba-tiba sudah didekap. Gelenyar nyaman langsung menghilangkan perasaan takut pada lelaki menyeramkan berdarah dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fav Pet
RomanceKehidupan yang Ryan jalani selama satu tahun ini berjalan mulus tanpa kendala. Monoton lebih tepatnya. Kegiatan rutinnya untuk melupakan 'gadis edelweiss, adalah bergelut dengan kucing-kucing baru peliharaannya. Bukan kucing oren atau kucing imut...