"Jadi... Teti Nin enggak akan ketemu Onya lagi?"
"Tentu saja kita akan bertemu, Sayang. Hanya saja, bukan dalam waktu dekat ini."
Merundukkan kepala ketika semangatnya merosot. Dia kira, dengan menelepon langsung akan membuat keputusan yang diambil guru muda-nya akan berubah. Tapi, kenyataannya tidak. Sonya menghembus napas pelan. Tidak bisa bertemu Bunda, teti Nin pun sama.
"Hem? Onya sedih?"
"Enggak, kok, teti Nin." Biasanya, tawa yang wanita cantik itu umbar impas pada wajahnya yang ikut tersenyum. Sekarang, tawa itu terdengar seperti alunan sedih diantara mereka. Pancaran sendu yang berusaha dia sembunyikan, jatuh pada gedung-gedung yang setara dengan mereka.
"Teti Nin tau kamu. Bukan kah seharusnya kamu senang, Onya?"
Sonya menurunkan alis merasa tidak terima. Tumpuan sikunya disandaran sofa meluruh namun cepat-cepat dibenarkan kembali. Orang disebelahnya ini pasti akan marah lagi jika Sonya terus jatuh. "Kenapa Onya harus senang? Nya jauh dari Bunda, teti Nin." Matanya sengaja dipedarkan kesamping, 'Lalu bersama orang asing yang suka naik tengsin.'
Ryan menaikkan satu alis hingga cewek didepannya kembali memusatkan pandangan ke luar. Gadis itu seperti berangan-angan sedang menyentuh gedung diseberang hanya dengan menempelkan jemari dipermukaan jendela.
"Kamu bisa bebas ke dunia luar, bukan? Kamu bebas ngelakuin apa yang pernah pingin kamu lakuin."
Dari sisi samping, Sonya benar-benar tampak tipis badannya. Ada angin yang berhembus, maka diyakini gadis itu kesusahan menyeimbangkan tubuh. Baju rumah sakit khas pasien tampak seperti kain milik raksasa dibadannya.
"Nya bisa jalan di trotoar?"
"Tentu saja."
"Nya bisa petik bunga ditaman?"
"Iya."
Yang tadinya luruh, sekarang bangkit lagi. Punggungnya menegak dengan wajah bersemangat. "Nya bisa jalan-jalan diluar? Makan di restoran? Naik kendaraan? Ke pantai? Danau? Pemandangan malam? Pasar—"
"Ya, ya, ya, ya, dan ya!"
Ini bahagia baginya, ini membawa euforia, ini kesempatan emas untuknya, ini cita-citanya yang belasan tahun silam ini dia damba-dambakan! Tanpa sadar, karena terlampau senang, Sonya memekik girang sambil melompat-lompatkan lutut yang sedang tegak di sofa.
Saling tertawa begitu merasa bahagia, hingga Sonya tak sadar saat tangannya yang sedang memegang telepon malah diangkat keudara dan membiarkan apa yang dia genggam terhempas ke lantai.
Membulatkan mata, Sonya cepat-cepat menoleh kesamping dan langsung mendarat dilantai ketika objek yang mengeluarkan suara nyaring tadi dia tangkap keberadaannya. Kembali berdiri, handphone ia tempelkan ke permukaan pipi sedangkan matanya menatap Ryan yang semakin menajamkan pancaran.
"Apa itu Onya? Hape-nya terjatuh?"
Sonya meringis tak enak, duduk diujung sofa sambil menatap takut-takut kearah wajah Ryan yang semakin mengeluarkan ekspresi mengerikan. Dahi yang pendek itu mengkerut dengan mulut terkatup rapat. "I-iya, teti Nin. Nya... Enggak sengaja..."
"Geseran kesini, lo bakal jatuh kalau duduk disitu." Nada datar Ryan menyimpan kekesalan terselubung. Ryan yakin sekali, potensi terhempas ke lantai pasti besar jika orang ceroboh plus lemah dan sensitif dibiarkan duduk disana.
Tanpa membantah, Sonya menggeser duduknya cepat-cepat. Meneguk ludah kasar, lalu menatap kedepan dengan erjapan cemas.
"Itu Ryan? Teti Nin mau ngomong sama dia sebentar, Onya. Nggak pa-pa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fav Pet
RomanceKehidupan yang Ryan jalani selama satu tahun ini berjalan mulus tanpa kendala. Monoton lebih tepatnya. Kegiatan rutinnya untuk melupakan 'gadis edelweiss, adalah bergelut dengan kucing-kucing baru peliharaannya. Bukan kucing oren atau kucing imut...