Kebetulan sekali, minggu pagi ini diisi dengan cuaca yang nyaris sempurna. Mataharinya yang silau, dilindungi awan putih hingga suhu dibumi tak terlalu tinggi. Bertepatan pula, dengan Sonya yang sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat satu minggu hanya untuk kasus: memakan daging mentah, yang disusul oleh cedera-cedera lain.Jujur saja, mulai dari detik pertama bertemu gadis itu, sampai detik ini juga, dia masih sering merutuki keadaan. Sonya adalah beban.
Tapi, apa mau dikata. Mungkin sudah garis takdir? Katanya, Tuhan sudah memberi tahu perjalanan kita hidup diatas dunia saat masih berada didalam kandungan. Ryan tidak menolak untuk dilahirkan, berarti dia setuju-setuju saja adanya hari ini saat itu.
Sonya melangkah dibelakang lelaki jangkung itu, matanya liar menatap sekitar. Rumah minimalis, tidak terlalu besar namun tampil mewah. Tanpa sadar, kaki-kaki kecilnya yang berbalut celana traning cowok melangkah memasuki dapur. Tangan-nya naik, untuk menyentuh meja pantry. "Wah... Jadi kayak gini rasanya pegang meja didapur." Gumamnya kagum.
Sementara Ryan merasa Sonya masih mengikutinya dari belakang, jadi dia membuka sebuah pintu yang berada didekat sofa diruang televisi. "Ini kamar lo. Jadi—" Ucapannya mendadak terpotong kala tidak melihat lagi wujud perempuan mini yang sejak tadi masih mengekorinya. Mendapati Sonya yang sedang katrok melihat-lihat keadaan ruangan tempat memasak, membuatnya menghela napas lewat mulut. "Sonya!"
Sonya terpelonjak ketika suara berat itu mulai memanggilnya, dia langsung berlari menghampiri Ryan. "Eh, iya-iya. Nya tadi lihat dapur."
"Enggak sekalian cek WC?" Ryan menyindir tajam.
"Kalau WC, Nya sering lihat, kok, di kamar Nya."
Sudah terbiasa menghadapi kelakuan dan kalimat Sonya yang sering melenceng, jadi kini Ryan tak perlu lagi mengekspresikan perasaan penuh ketidak percayaan. Dia membuka pintu kamar lebar-lebar. "Ini kamar lo. Kecil, tapi tetap bisa ditinggal—"
"Enggak-papa, kok! Nya suka." Sambar Sonya cepat sembari mengumbar senyum lebar. Tampak sumringah diwajah berserinya, membuat muka itu semakin cantik.
Ryan mengerutkan dahi, kemudian langsung berbalik untuk memasuki kamarnya. Merasa tak ada yang perlu dibahas lagi.
"Eh, Malaikat Baik!" Panggil Sonya dari ambang pintu-nya.
"Berhenti panggil gue Malaikat Baik!"
Sonya tak mengindahkan protesan itu, dia malah tetap menampilkan raut kegirangan. "Terima kasih, ya, udah mau kasih Nya kamar."
Ryan menatap Sonya dari sudut mata, wajahnya merengut pertanda tidak terima. "Enggak kasih. Lo cuma minjem!"
"Iya, Pu. Maksudnya kasih untuk sementara waktu."
"Hm!"
• • •
Ryan melangkah keluar rumah, melewati pintu dapur hingga berakhir dihalaman belakang. Menyadari kedatangan-nya membawa makanan, membuat Chicka dan Chicko mengaum pertanda kesenangan.
"WOAHHH. KUCING-KUCING RAKSASA!"
Belum sempat berbalik untuk memastikan keberadaan Sonya, gadis itu tiba-tiba sudah melewatinya untuk menuju dua peliharaan-nya. Didetik sang betina ingin menerkam Sonya, saat itu tangan Ryan sudah cekatan menarik Sonya dan dibawa berbalik. Punggungnya terdorong oleh bobot si Cheetah yang berat, membuat mereka terhuyung dan jatuh ke tanah. Meskipun sudah dilatih jinak, namanya hewan buas tetap hewan buas. Mereka akan menyerang saat terancam.
Rupanya Chicka masih berusaha menggapai Sonya yang berada dibalik tubuhnya disertai dengan auman kemarahan. Ryan sempat memejam mendengar suara nyaring tepat disebelah telinganya, semakin merapatkan tubuh ringkih itu agar tidak tergigit oleh kucing besarnya. "Chicka, stop! Menjauh!" Chicko yang sejak tadi menonton, sekarang si jantan itu berinisiatif membantu-nya untuk mendorong Chicka dengan kepala agar menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fav Pet
RomanceKehidupan yang Ryan jalani selama satu tahun ini berjalan mulus tanpa kendala. Monoton lebih tepatnya. Kegiatan rutinnya untuk melupakan 'gadis edelweiss, adalah bergelut dengan kucing-kucing baru peliharaannya. Bukan kucing oren atau kucing imut...