12.[Mengemban Tanggung Jawab]

157 22 1
                                    


Tidak seharusnya guru muda-nya itu berbicara lancang kemarin. Sekarang bagaimana? Dia yang paling diharapkan bahkan hingga memohon pertolongan.

Kedua kali Ryan menghela napas kasar, tapi pikiran berkecamuk dan gundah gulana dikepala tak jua enyah.

“Ibu sangat-sangat bersyukur saat tahu yang menemukan Sonya adalah kamu, nak.”

Guru muda itu bersyukur, tapi disisi lain jiwa berontak Ryan harus terkubur. Bagaimana bisa dia menolak, saat bu Nindya bilang;

“Sebenarnya, dia gadis yang malang. Keluarga-nya benar-benar kacau saat ini. Untuk itu, bisa ibu titipkan dia denganmu sampai keadaan benar-benar memulih?”

Satu pertanyaan sudah terjawab, pikirnya tentang gadis alien perlahan melingsir. Gadis itu juga manusia biasa rupanya.

“Untuk biaya? Ibu pasti transfer rutin setiap bulan. Dan ibu juga akan melebihkan uang itu untuk jajan-mu.”

Dia bukan orang pelit. Tapi, hatinya juga tidak sedermawan itu untuk menolak. Makan-nya saja masih ditanggung orang tua. Maka, jatah uang yang disisih sebagai haknya, tetap diperuntukkan pada Sonya. Tidak mungkin gadis itu terus memakai baju-nya, apalagi sifatnya yang primer.

Satu kesimpulan, kesusahan kembali bertumpuk dipundaknya. Dia benar-benar berjanji akan mengompal gadis itu ke kandang peliharaan-nya, kalau bisa-nya merepotkan saja.

Mobilnya melaju memasuki parkiran rumah sakit. Sudah seharusnya dia beristirahat dengan tenang sekarang. Chicka-Chicko juga pasti keheranan mengapa sudah selarut ini dia tak pulang.

“Ibu jamin, dia tak akan menyusahkan-mu, Ryan. Dia gadis yang mandiri dan kuat. Kamu apa-kan saja, maka tidak akan terasa sakit bagi-nya.”

Lagi-lagi helaan napas kasar berhembus dari hidung dan mulutnya secara bersamaan. Baru memikirkannya saja, rasanya sudah lelah. Kapan dia bisa hidup seperti kemarin lagi? Lagian, kalimat bu Nindya yang satu itu pasti sebagai penyenang hati saja.

Untungnya mereka sudah pindah kamar, sekarang Ryan bisa istirahat dengan nyaman. Menghempas bokong disofa empuk, tubuhnya tersender lemas dengan satu tangan menutup dahi. Dia tahu bahwa gadis itu sedang berada dikamar mandi, percikan airnya kedengaran sampai sini.

“Eh! Udah pulang, ya? Gimana sama bunda Nya? Kapan dia mau jemput aku kesini? Hey?”

Ryan berdecak kecil, membuka sebelah mata dengan malas kemudian ditutup kembali. Namun, seakan baru sadar, matanya terbuka sempurna keduanya sekarang. Punggungnya sontak menegak.

Muka dan kedua tangan Sonya memunculkan ruam-ruam merah yang kentara. Merotasikan mata kearah pintu kamar mandi, membuatnya hampir saja ingin menganga. Uap-uap  mengepul diudara disana.

“Lo ngapain?” Berdiri dengan dahi mengkerut, tatapan tajam dia jatuhkan langsung ke wajah yang sedang tersenyum tanpa beban.

“Cuci muka dan cuci kaki.”

Alis Ryan menukik seketika. “Pake air panas?”

“Iya.”

Terbelalak adalah ekspresi dominan, bagaimana bisa orang mencuci wajah dengan air panas segampang itu?! Ryan menempelkan handphone ke telinga saat sudah berdiri didepan biang pembuat kepala pusing tujuh keliling.

“Beritahu Nya, bunda Nya bilang apa?” Tanya Sonya mendesak. Belum mengerti apapun.

“Lo enggak ngindahin peringatan gue?”

Sonya mengedip-kedipkan mata tak mengerti.

“Badan lo itu sensitif, jadi jangan berulah yang bikin keadaannya makin parah dan lebih lama dirumah sakit!” Ucapnya keras dengan wajah amarah. Bahkan urat dileher dan wajah Ryan berkeliaran. Ryan sungguh dilanda lelah.

My Fav PetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang