[11] Home

8K 804 38
                                        

Trigger Warning!

abuse, harsh words, violence 🔞

「 "Aku hanya ingin bernapas tanpa perlu takut dipukuli." 」

Begitu memasuki rumah, aku langsung memasang sikap waspada.

Memulai penelusuran ke seluruh penjuru ruangan demi memastikan apa yang sudah kudengar. Aku sampai beranikan diri memasuki kamar Ibu, menyentuh alat-alat aneh bahkan benda yang membuatku meneguk saliva takut hingga tangan-tanganku gemetaran, tapi kulawan sekuatnya demi menemukan apa yang kucari.

Tapi pencarianku sia-sia. Sesuatu yang bisa disebut alat penyadap itu tidak kutemukan satupun. Padahal aku sudah menyisir setiap sudut bahkan di sela-sela sempit yang rasanya mustahil untuk diingat.

Di mana mereka memasangnya? Atau, mereka sudah melepasnya?

Mengingat aku sudah diperbolehkan pulang, apakah mereka segera membereskannya?

Kini aku terduduk lemas di sisi tempat tidur. Antara merasa lega karena ini sudah berakhir, tapi kekesalanku belum juga mereda.

Kenyataan bahwa mereka menerobos masuk ke rumahku sampai mengintai ke ruang privasiku ini, benar-benar kelewatan. Aku tidak habis pikir bagaimana mereka bisa melakukan tindakan itu sebagai bentuk pengawasan.

Ditambah lagi, dia membiarkan Ibu berhubungan dengan musuh mereka, aku masih belum memaafkan hal itu. Bagaimana pula Ibu bisa kebetulan bertemu dengan musuhnya? Di mana Ibu bekerja, sebenarnya...?

Meski aku sudah kembali ke rumah, ini masih terasa mengganjal. Sejak kejadian itu, aku merasakan perubahan membekukan di antara kami.

Sikapnya kembali seperti kali pertama aku menemukannya di gang malam itu. Aku sampai tidak berani berlama-lama di dekatnya dan memilih bersembunyi di kamarnya. Dia bahkan tidak mengatakan sepatah katapun saat memutuskan memulangkanku tadi.

Itu malah menggangguku.

"Seharusnya aku yang marah. Dia selalu berbuat seenaknya dan lagi-lagi menyentuhku. Tapi kenapa dia jadi ikut marah bahkan mendiamkanku?"

Aku lantas mengubur wajahku di telapak tangan, mengesah panjang berharap gusar di benakku terbuang.

"Memang seharusnya begini, bukan? Tidak perlu ada rasa peduli maka aku bisa benar-benar lepas darinya."

Tapi kenapa aku terus memikirkannya?

────• red hair man •────

Hari-hari berlalu. Aktivitasku kembali berjalan normal.

Aku kembali bekerja tanpa mendapat teguran dari Kepala Hwang. Saat mengajukan permintaan maaf karena sudah absen selama tiga hari, Kepala Hwang juga tidak banyak berkomentar dan seakan memaafkanku.

Untuk tipe Kepala Hwang yang tidak menoleransi terlambat datang apalagi absen tanpa kejelasan itu memang tidak biasa. Tapi mengingat siapa pemilik restoran ini serta bagaimana Kepala Hwang pernah menyapa pria berambut merah itu dengan akrab, sepertinya aku tahu alasannya.

Ibu juga masih dengan kesehariannya. Sejak aku kembali dan akhirnya menyambut kepulangan Ibu, aku memeluknya terlampau erat sampai ia berseru marah. Tapi aku tidak memusingkan itu. Kelegaan lebih menguasai dan aku justru rindu mendengar suara sinisnya.

The Red Hair ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang