[19] Don't...

6.7K 690 46
                                    

mention of alcohol and drunk

「 "Hidupku benar-benar selucu ini." 」

Aku keluar dari kamar mandi dengan canggung. Sekali lagi menunduk memerhatikan piyama biru muda yang kali ini pas di tubuhku dan masih beraroma baru. Karena pria itu membelikannya saat memesan makan malam tadi. Bukan hanya pakaian, dia juga membawakan peralatan mandi baru yang sering kupakai di rumah. Dan itu semakin membuatku meringis tidak enak.

Rasanya tidak lagi sama seperti saat aku menginap di sini sebelum-sebelumnya. Sekarang, aku benar-benar tidak dapat kembali ke rumahku dan terpaksa menetap di sini. Entah sampai kapan.

Aku mendudukkan diri di sofa tepat di sebelahnya yang sedang fokus pada ponselnya. Aku bahkan tidak berani meliriknya di saat jantungku berdebar gugup hingga harus meremas handuk yang masih kubawa. Menyusun kalimat demi kalimat terlebih dulu sebelum coba kulontarkan.

"Terima kasih sudah menolongku sekali lagi. Dan, maaf, aku sudah merepotkanmu lagi."

Sudut mataku melihat dia sudah mengabaikan ponselnya dan menengokku. Maka aku berdeham pelan sebelum kembali berkata.

"Aku tidak akan berlama-lama di sini. Mungkin beberapa hari saja. Besok aku akan mulai mencari tempat tinggal. Jadi—"

"Kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau."

"Y-ya...?"

"Aku jarang bermalam di sini. Jadi kau bisa gunakan tempat ini seperti tempat tinggalmu."

Jelas aku menggeleng tidak setuju. "Tetap saja, aku tidak berhak di sini. Lagipula, aku masih outsider, kau lupa?"

"Kau adalah kekasihku."

"Ha-hanya kekasih pura-pura."

"Then wanna stop pretending and take it seriously?"

Sontak saja aku mengigit bibir menahan rasa terkejut berkat ucapannya. Terlebih dia memandangku dengan satu alis terangkat sebelum berpaling demi mengambil sesuatu di atas meja.

"Hadap kemari."

Aku menurut lalu tangannya menyingkirkan rambutku yang masih basah ke belakang, menyentuh leherku perlahan sebelum mulai membubuhi salep di sana. Saat bercermin di kamar mandi, aku menemukan luka seperti bekas cakaran juga tancapan kuku cukup dalam, hingga ruam memerah yang tidak lain jejak tangan Ibu saat mencekik leherku tadi.

Sampai detik ini, sensasi menyakitkan itu seakan tertinggal dan masih terus mencekikku. Hatiku kembali berdenyut perih menimbulkan sesak sampai kedua tanganku mengepal di pangkuan.

Jemarinya beralih meraih daguku, menitahku agar menatapnya sementara ibu jarinya mengelus pipi kiriku. Mengingatkanku bahwa tamparan Ibu juga menimbulkan bekas samar di sana dan sepertinya dia juga melihatnya.

Mata kelamnya seakan mengatakan sesuatu. Seperti ada kemarahan di sana hingga tanganku begitu saja menggenggamnya. Gemetar lekas menghinggapiku begitu sorotnya langsung menumbukku.

"A-aku sudah tidak apa-apa."

"I don't believe that." Dalam dan telak. Dia pun melepas sentuhannya, membebaskanku untuk menghirup napas. "Hampir tengah malam. Tidurlah."

Aku pun berdeham pelan demi mencairkan suasana yang mendadak dingin ini.

"Ka-kau punya semacam kasur lipat? A-atau kalau tidak punya, tidak apa-apa. Aku tidur di sini—"

The Red Hair ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang