[16] Conscience

6.4K 688 26
                                    

「 "Aku tidak suka diingkari." 」

Kuakui sudah membuat keputusan bodoh.

Apa yang dikatakan pria itu benar. Aku terlalu mudah percaya terlebih pada orang yang jelas-jelas pernah membuatku celaka tempo lalu. Hanya karena sudah meminta maaf, aku berpikir Seo Yoojin sudah berubah dan memang berniat ingin menolongku.

Aku memang terlalu naif mengira bahwa manusia mudah menyesal. Di saat jutaan kepala jahat masih berkeliaran menjadikan kelicikan sebagai senjata untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

Sekali lagi nyawaku terancam, tapi aku justru diselamatkan oleh mereka yang sebenarnya ingin kujauhi. Menamparku sangat keras bahwa aku benar-benar tidak bisa melarikan diri dari lingkaran mengerikan ini.

Dan aku harus berlindung di balik punggung pria berambut merah itu.

"Mulai sekarang, jangan berikan sedikitpun kepercayaanmu pada siapapun. Cukup percaya padaku."

Aku ingin menangis lagi....

Ini mimpi buruk yang sangat panjang. Kapan aku akan bangun...?

Pintu kamar ini terbuka dan aku spontan menjatuhkan diri bersembunyi di balik selimut. Jantungku berdentam-dentam merasakan kehadirannya dan aku semakin meringkuk begitu sisi kasur ini melesak menandakan bahwa dia sudah duduk tepat di sampingku.

Aku tidak siap menghadapnya. Apalagi bersitatap dengan matanya yang menakutkan itu.

Maka aku langsung memejam erat begitu selimut yang melindungiku ditarik olehnya. Terhenyak tanpa kendali kala sentuhan kecilnya menyingkirkan helai-helai rambut dari wajahku, berakhir menangkup tanganku yang mengepal kuat.

"Cheon Sera, bangunlah."

Aku masih bergeming. Meski suara beratnya begitu halus, tidak berarti membuat kegamanganku mereda.

"Sudah ada sarapan di meja. Bibi Lee tidak bisa menemanimu karena dia sedang pergi. Jadi tetaplah di sini sampai aku kembali."

Dia mau pergi?

Entah keberanian dari mana, aku membuka mata dan menemukannya beranjak bangun. Aku pasti sudah gila karena malah menarik ujung jaketnya lalu mendudukkan diri. Di mana saat itu juga aku bertemu mata kelamnya yang jauh dari dugaanku.

"Ka-kau mau pergi...?"

"Ya."

"Berapa lama?"

"Selama yang kau mau. Jadi kau bisa menenangkan diri sendiri di sini."

Aku justru semakin meremas jaketnya. Napasku tidak beraturan hingga suaraku keluar putus-putus, "A-aku ti-tidak mau s-sendirian...."

Jantungku berlari kencang penuh gelisah bercampur takut. Aku tahu ini terdengar labil. Tapi aku sendiri tidak yakin akan baik-baik saja ditinggal sendiri.

"Baiklah." Dia menggenggam tanganku yang masih di jaketnya lalu menghelaku pelan. "Sekarang ayo turun. Kau harus makan."

Aku menurut saja. Membiarkannya menuntunku keluar dari kamar hingga duduk di meja makan. Berhadapan dengannya yang kemudian tampak mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

"Batalkan pertemuan hari ini. Aku akan mengabari lagi nanti."

Dua kalimat itu dia ucapkan tanpa sapaan maupun menunggu balasan dan langsung mengakhiri panggilan. Aku tidak tahu harus merasa bersalah atau menyesal karena dia sudah memutuskan untuk menetap di sini sampai membatalkan rencananya sendiri.

The Red Hair ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang