[02] Meet Again

12K 1K 31
                                    

"Semoga kita benar-benar tidak bertemu lagi."

INI seperti sudah menjadi kebiasaanku. Setiap kali melewati gang itu, aku akan berhenti untuk menengok ke dalam sana sejenak. Meski hanya ada kekosongan seperti biasa yang kudapat.

Sudah hitungan minggu sejak kejadian itu. Aku sungguh tidak lagi melihat wujudnya. Seperti yang diharapkan di pesan singkatnya bahwa kita tidak akan bertemu lagi.

Tapi entah mengapa, aku masih saja memikirkannya.

Apa dia sudah mendapat perawatan lebih baik? Dia tidak mati, kan?

Aku masih memikirkan bagaimana dia bisa pergi secepat itu di saat luka di perutnya belum mengering. Aku benar-benar tidak konsisten padahal di sisi lain juga takut akan perawakannya yang menyeramkan itu.

Langkah kakiku membawa diriku masuk ke mini market di persimpangan. Seperti biasa, aku merasa enggan untuk sampai ke rumah dengan segera dan memilih untuk makan malam di sini.

Kubeli satu cup ramyun dan kimbab beserta minuman dingin. Setelah membayar, aku lekas ke sudut minimarket di mana meja makan berada.

Malam sudah cukup larut. Suasana yang pas sekali untuk menikmati makanan sederhana ini. Aku selalu merasa lebih nyaman di sini dibandingkan di rumah. Karena bagiku, rumah hanya berfungsi sebagai tempat beristirahat saja.

Juga demi menghindari kemungkinan Ibu sudah pulang.

"Ough, nikmat sekali," desahku setelah menyeruput kuah ramyun kesekian kalinya.

Sambil membuka bungkusan kimbab kedua, mataku berkelana ke luar jendela. Seseorang baru saja keluar dari mini market ini lalu duduk di salah satu kursi. Begitu saja aku memerhatikannya yang tengah menyulut sebatang rokok di mulutnya.

Rambut merah di balik tudung jaketnya terlihat familiar. Samar-samar ada tato di leher—

"Uhuk!!"

Aku tersedak kimbab yang baru saja kugigit. Segera meneguk minumanku banyak-banyak sebelum fokusku kembali ke orang itu.

Dia pria si rambut merah itu, bukan?!

Jantungku mendadak berdetak cepat. Padahal ramyun yang kumakan belum tandas tetapi nafsu makanku hilang begitu saja. Hanya karena melihat sosoknya ada di sini, di dekatku, dan mungkin saja akan melihatku!

Oh, dia sudah melihatku.

Mata tajam itu sudah menemukanku. Seperti maling yang tertangkap basah, tubuhku bergidik ketakutan melihat tatapannya seperti menghakimi keberadaanku.

Tapi aku sempat terpana dengan rupa wajahnya yang sudah bersih dari luka.

Meski terbingkai tudung jaketnya, kunilai bahwa wajah tegas itu bisa dikatakan menawan. Kulitnya putih pucat dengan kontur yang tidak terlihat seperti jenis wajah warga negara ini. Bibirnya terlihat penuh menyeimbangi bentuk hidungnya. Matanya bisa dikatakan sayu tetapi tidak mengalahkan cara tatapnya yang penuh mengintimidasi.

Aku harus segera pergi dari sini.

Mengabaikan makananku yang masih tersisa, aku melompat turun dan keluar dari minimarket. Sekeras mungkin tidak menoleh ke arahnya kala melewati meja tersebut lalu berjalan cepat menjauh diiringi debaran jantung yang sudah menggila.

"Semoga dia tidak mengingatku. Lebih bagus kalau dia memang benar-benar tidak mengenalku." Aku merapalkannya beberapa kali. Berharap dia memang tidak mengingatku apalagi menyusulku.

The Red Hair ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang