33. PATAH

290 46 469
                                    

33

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

33. PATAH
.

.

.

Melihat jasad yang sudah di timbun oleh tanah membuat Aurora menatap dengan pandangan kosong, sungguh air matanya sudah berhenti mengalir sejak kemarin, sesak di dadanya bahkan tak ia hiraukan.

Kini raganya sudah benar-benar kosong, ia rusak, ia hancur, dan kini sekarang benar-benar patah tak berbentuk.

Sungguh ini benar-benar sakit, saking sakitnya ia sudah tidak bisa lagi menangis guna meredakan rasa sakit yang tertoreh di hatinya.

Luka dihatinya sudah mengering, bahkan bekasnya tak lagi bisa hilang. Luka itu tetap akan membekas, hingga obat yang benar-benar obat datang dan kembali memulihkan rasa sakit itu.

Aurora tak tahu, siapa yang akan menjadi obat nya. Jika kebahagiaannya sudah musnah ia sudah hilang tak tentu arah.

Ia patah, benar-benar patah sekarang...
Ya Allah, ini sakit... benar-benar sakit.

Aku menyerah pada ujian mu,
Sungguh ini menyakitkan....

Mengecup batu nisan putih itu, hingga suara pelan nyaris hilang itu kembali terdengar.

"Aurora sayang sama bunda,"

"Sekarang... Aurora benar-benar ikhlas lepasin Bunda," ucap Aurora dengan suara kecil nya.

"Bunda tenang yah di sana. Aurora janji bakal nemuin siapa yang bunuh Bunda. Bunda harus dapat keadilan,"

"Makasih karena udah rawat Aurora nyaris selama 17 tahun ini. Dan kado terburuk yang aku dapatkan yaitu kepergian Bunda. Makasih yah Bunda, atas semuanya."

"I Love you," ucapnya diselingi rasa sesak.

Kini hanya tinggal dirinya yang berada di pemakaman, sepuluh menit yang lalu ia menyuruh Alicia untuk mencari bukti kematian Bunda dan lagi setelah dari pemakaman ia akan menyusulnya.

Tak ingin beranjak, gadis dengan wajah pucat itu terus memeluk nisan putih itu entah sampai kapan ia beranjak.

Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi, hingga lama kelamaan suara petir menyambut datangnya hujan deras.

Tak peduli kalau hujan turun semakin deras, Aurora masih setia memeluk nisan itu hingga merasa ada seseorang yang melindunginya dari hujan dengan cepat Aurora mendongak.

Mendapati sebuah payung hitam yang melindunginya dengan perlahan Aurora berdiri dan menatap cowok bernetra gelap yang kini menatapnya dengan tatapan khawatir.

Aurora yang hendak beranjak dengan cepat Langit mencekal lengannya.

Melepaskan genggaman itu, dengan mata memerah Aurora menatap Langit dengan pandangan dingin.

"Gue mohon dengerin gue." Ujar Langit dengan suara bergetar nya.

"Jangan kayak gini Ra. Nanti Lo sakit," Ucapan Langit membuat Aurora terkekeh kecil.

AURORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang