Masa kecil terulang kembali belum tentu menyenangkan hati. Bila kamu menanyakan pada Gar, si cowok alim kontan menyambar cepat, masa kecil terulang kembali itu seumpama mimpi buruk, yang lagi dan lagi, bangkit dari masa lalumu meneror. Maka, itulah enaknya jadi orang dewasa, punya nyali buat meneror balik.
Kira-kira seperti hari ini, hari sesudah purnama pertama di tahun yang baru. Dari legenda perkotaan yang Gar tahu, setan-setan galak berkeluyuran di siang bolong pada hari seperti itu. Nah, kebetulan, salah satu setan yang dimaksud sedang berhadapan dengannya sekarang ini.
Boleh percaya boleh tidak, karena kepercayaan itu hak masing-masing orang, hantu masa lalu Gar punya konotasi khusus. Satu, hantu dalam tanda kutip itu manusia normal. Kedua, namanya Nyonya Monas. Tunggu dulu, ini bukan Monas monumen nasional yang kita cintai bersama, namun Monas satu ini juga tak kalah istimewanya. Alhasil, Gar menyapanya "Nya" saja untuk amannya.
"Buseeet! Barang sampah buanyaak banget!"
"Ya udah, Nya, kalau banyak ya buang aja!"
"Eh, jangan bacot aja! Malah galakan kamu ya!"
"Baik, Nya. Akan aye buang. Nanti, tapinya." Suara pelan si laki-laki, Gar, menyahut malas-malasan.
"Sekarang juga. Cepat." Suara dari balik pintu menuntut, tidak pelan juga tidak membentak keras, meski nada suaranya jelas marah-marah.
Tak ayal gayung di pinggir bak mandi terpelanting, menimbulkan bunyi nyaring. Benda butut ini ikutan bertingkah belagu memaki Gar, pemiliknya.
Bacot elo gede! Gar memaki si gayung yang sekali lagi terpelanting ricuh.
Asal pertengkaran itu dari pintu tua keropos engselnya setengah miring, deritnya meremangkan bulu roma, lebih-lebih bak suasana horor, tangan pucat kecil beringsut-ingsut, mengepal bungkusan nan misterius. Sedikit demi sedikit pintu membuka, dan ... bruk! Benda hitam pun berdebam jatuh, aromanya angker, antara pesing, bacin, dan entah apa lagi bau bercampur.
Untuk sesaat tangan pucat mengibas-ngibas pegal. Bisa dimaklumi karena WC menakutkan itu terpaksa menuntutnya kerja keras. Kondisinya yang lebih mirip kandang hewan terutama, sekian lama tak disikat dan akhirnya jadi gudang benda tak berfaedah. Bungkusan gembung yang dibuangnya tadi cuma secuil rongsokan dari dalam toilet.
"He-ehm. Sampo Cameo delapan botol. Kondisioner Camel tujuh botol. Botol detergen D'hitz enam biji. Semuanya botol kosong. Hidih, sudah berlendir, lumutan, bau busuk pula! Cepat dibuang!" Tangan pucat itu memerintah.
"Kok hafal Nya, jumlah dan jenis-jenisnya? Segitunya amat?" Suara si laki-laki menjawab keheranan. Matanya tertuju pada kantong kresek yang tergolek dekat kakinya.
"Itu baru bungkusan pertama. Masih ada susulannya, tauk!"
"Yaelah, Buat apa sih buru-buru gitu ..."
Si tangan pucat melontarkan bungkusan sampah kedua. Sarung tangan lateks yang dipakainya basah kuyup. Pucat kesannya, karena warnanya kebetulan putih susu keabuan dan lengket. Lalu selanjutnya bom itu terlempar juga.
"GAAARRR!! INI KOK ADA SINGLET YANG SAMPE UDAH LUMUTAN? KAMU INI MASIH HIDUP APA MAYAT ZOMBIE, SEEEH? AMPUUN!!" Perempuan galak dalam toilet berseru histeris.
Amit-amit jantung gue. Setan galak kok keluyuran, mana siang-siang bolong lagi. Gar mengelus dadanya prihatin.
Mudah ditebak, dua manusia bernama Nya dan Gar itu beradu mulut. Lebih tepatnya Nya membentak Gar, dan Gar menjawab lemah. Malas berdebat, lebih malas lagi cekcok dengan perempuan yang mengatur-ngatur hidupnya kini.
Sebodo amat. Biarlah ayam betina berkokok, lebih baik jantan diam dan tak mengindahkan, Gar berpikir pragmatis. Siapa suruh merecok tanpa persetujuan gue? Siapa suruh papap tiba-tiba pergi tanpa pesan apa pun? Siapa suruh pula kami pernah saudaraan dulunya? Last but not least, siapa suruh dia mau masuk dalam hidup gue? Nyaho kamu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Night Mama Moon
Любовные романыSewaktu kecil dipertemukan toko kue harum bernama Wulandari (artinya cahaya bulan terelok), Toga Ribu Mukuan alias Togar berjumpa Monalis Saura yang menjadi saudari tirinya dari pernikahan ayahnya yang kedua. Perempuan yang lebih tua satu setengah t...