4th of the Moon

72 13 0
                                    

Gar berharap, ketiga bola basketnya, atau salah satu saja setidaknya, memuai bak adonan roti, dan bisa menelannya bulat-bulat bak kepompong kupu-kupu ajaib. Ide kurang ajar - maksudnya absurd dan tak mengenakkan - dari mantan kakaknya menegaskan, kecepatan arus informasi dan teknologi terkini bisa menolong Wulandari yang terperosok nasibnya. Segalanya bisa dimungkinkan dalam satu klik saja. Caranya?

"Bikin konten, dong. Kita vlogging bareng. Kasih kursus gratis bikin kue, tapi gak usah terlalu jujur. Garis besarnya saja. Orang yang penasaran pasti mampir ke toko, mungkin mau kursus berbayar, mungkin mau beli kue yang famous di Wulandari dulu."

"Susah, Nya. Teorinya gampil, tapi pelaksanaannya, itu yang bikin melintir. Gak usah aneh-aneh dah menurut aye." Gar secara otomatis memakai kata ganti aye bila dirasa mantan kakaknya berulah menyebalkan.

"Kok kamu tahu bakal susah? Belom juga dicoba. Mana tahu sebelum benar-benar dilakonin. Jangan malas kalo mau hidup, Gar." Nyonya Monas menandaskan dengan slogan butut yang paling disangkal Gar dalam hidupnya. "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan, Gar."

Betapa menyebalkannya kemauan manusia. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan? Puh. Semudah itu, memangnya? Bagaimana bila kemauanmu besar, tetapi jalanmu buntu dan akhirnya kamu tersudut? Memangnya kita bisa apa bila semua jalan menyempit? Bila setiap kemauan ada jalannya, tak mungkin ada orang-orang putus asa dan akhirnya berpikiran pendek. Orang-orang yang menempuh jalan tak halal pastilah mereka yang berpikiran pendek, kan?

Mereka membenahi dapur dengan diam. Ada balloon whisk, bread knife, cake knife, grater, timbangan, cetakan roti dan kue, spatula, pemotong adonan, whisking bowl, rolling pin, pastry cutter, pengukur bahan cair, cetakan roti dan kue, loyang pai, loyang adonan, pengayak tepung, dan lain-lain. Semuanya berdebu, tetapi utuh tak kurang suatu apa pun, semata karena Gar paling malas membuang barang.

"Untung aku tipe hoarder paling parah se RT RW ini. Mungkin sekecamatan sekabupaten seprovinsi Nusantara juga." Bangganya Gar berceloteh, lupa menjaga jarak dengan mantan kakaknya, seakan mereka kawan akrab sesaat itu.

"Gar, kamu tuh hoarder spesialis barang WC. Water Closet lu jadiin gudang barang gembel. Botol sampo kosong, bekas sachet sabun, bungkus detergen, ampe sabun batangan yang tinggal secuil cuil kamu tumpuk jadi satu. Gak berasa ya kamu, Gar, WC kamu tuh baunya buseeett betul?"

Sekalian menghindar, sekaligus lumayan penasaran, Gar meneliti piping tube, alat untuk menghias tart, yang terdiri dari piping bag dan variasi nozzle dan tip yang bisa membuat dekorasi kue yang berbeda-beda. Ada round tip yang menghasilkan icing bentuk bulat, ada yang menghasilkan icing berbentuk rose atau drop flower. Tanpa icing, bentuk kue tar atau kue ulang tahun bakal begitu-begitu saja dan membosankan. Kayaknya sudah wajib pakai butter cream, supaya ada variasi penghias kue, seperti pinggir kue tar yang bentuknya mirip kuncup-kuncup mawar, misalnya.

"Kue tar buatan nenek dulu paling terkenal. Papa juga pintar bikin tar, tapi dekorasi nenek dong, paling tokcer. Tiap kali di rumah ini ada yang ultah, nenek yang paling sibuk ..."

Nenek tak mungkin tak sibuk bila merayakan hari jadi cucu-cucunya. Cucunya semula hanya satu, Gar seorang cucu kesayangan. Hadirnya kakak perempuan Gar, kakak tiri yang satu setengah tahun lebih tua, dan seingatnya papap menyukai putri dari istri barunya. Tidak pilih kasih, bila Gar mendapat oleh-oleh, kakak barunya juga dapat yang serupa. Bila ayahnya bepergian ke luar kota, ia menyempatkan diri pamit pada Gar maupun putri tirinya.

Setelah ibu Gar tiada, ayah Gar menetap di toko kue seperti semula. Nenek Gar menyayangi menantunya seperti putra sendiri, mungkin semata agar ayah Gar tidak terpikir untuk pindah dan membawa Gar, cucu satu-satunya sang nenek, pergi. Bahkan ketika ayah Gar menikah lagi, nenek menganggap ibu tiri Gar sebagai menantunya, dan menerimanya dengan tangan terbuka. Anehnya, ibu tiri Gar tak nampak gembira, senyumnya sangat mahal dan kalaupun senyum kecil, sangat kentara dibuat-buatnya.

Setahunya Nyonya Monas, mantan kakaknya ini kaku pembawaannya. Mau bikin konten memangnya gampang, begitu? Asal cuap-cuap di kamera kayaknya sepele, enteng aja kelihatannya. Namun, coba dilakoni langsung, terasa betapa beratnya aktivitas satu ini. Ya, dijajal saja untuk baiknya.

Kebanyakan langsung blank begitu kamera ON merekam. Apalagi mengingat rekaman video bakal diunggah dan disaksikan publik luas. Demam kamera melanda huru hara, kata seorang teman Gar yang kini jadi vlogger profesional. Awalnya, teman Gar bahkan gemetaran di muka kameranya, padahal Gar tahu persis temannya itu supel bukan main dan keberanian tampilnya paling menonjol di antara sesama teman yang "eksis".

Gar sendiri tidak "eksis-eksis" amat. Tak gandrung menonjolkan diri, misalnya dengan menjadi aktivis kampus atau menjadi ketua klub mana pun. Masa bodoh, mana ada yang seasyik bola basket, pikirnya. Bahkan dulu semasa SMA ia menolak jabatan ketua kelas atau ketua OSIS sekalipun, demi hobi basket dan idealisme yang satu lagi, yakni prinsipnya jadi invisible boy yang bebas jadi siapa pun yang ia mau. Bakat pemalasnya sudah menonjol, agaknya, bahkan sebelum ia jadi kacau sejak ayahnya menikah ketiga kalinya. Intinya Gar tidak mau repot dan ia tak gila sanjungan seperti ketua-ketuaan di sekolah atau kampusnya dulu.

Seingat Gar, ia juga masa bodoh soal ibu baru. Di saat anak-anak seusianya rancu antara kenyataan dan dongeng, Gar sudah tahu, ibu tiri jahat cuma ada dalam dongeng Upik Abu dan Putri Salju. Untungnya, ia tak terlalu rindu ibu kandungnya. Ada luka karena nama itu. Ibu, atau mamam begitu Gar menyebutnya lugu.

Ibunya sempurna di mata semua orang. Namun, bagi Gar, ibunya seperti hutan larangan dalam dongeng ibu guru di sekolah. Saat hari terang, hutan misterius itu begitu benderang dan penuh keriaan. Namun, begitu malam datang, tampaklah sisi gelap hutan yang ditingkahi tangisan dan kutukan. Setiap sudutnya menyesatkan dengan labirin tak berkesudahan, kamu akan terdorong makin dalam, dalam, dan dalam hingga sihir gaib menawanmu selamanya.

Bukan berarti ibunya menakutkan. Ibunda Gar, mamam yang cantik itu, tak ubahnya rembulan di langit malam, sesuai namanya. Wulandari. Namun, sisi muram ibunya menakutkan Gar kecil, yang bahkan baru lima tahun usianya saat sang ibu menutup mata selamanya. Sampai sekarang pun, bayang-bayang buruk menghantuinya sesekali, dirasanya jemari-jemari kecil, halus, dan dingin menjamah lehernya. Pelan sekali, bak laba-laba gemuk yang merambat ragu-ragu. Lantas Gar merasakan dirinya melesak, persis bola kempis tanpa udara. Ia merasa tercekik tanpa sebab, puncaknya Gar terjaga dalam kegelapan, karena pukul satu dinihari masih terhitung larut malam. Entah kenapa, dirasa Gar mimpi suram itu ada hubungan dengan ibunya.

Tanpa seorang pun tahu, nenek yang adalah ibu kandung dari mamam, ibu Gar, punya sisi aneh yang tak diketahui siapa pun. Kesukaan neneknya mendongeng seram pada Gar, bahkan cerita-ceritanya tergolong sadis dan tak mengenakkan.

Nenek berkata, kamu anak laki, Gar. Harus berani dan kuat, karena dongeng Nenek bisa terjadi di kehidupan yang nyata. Ini semacam latihan mental, rupanya. Gemblengan agar Gar kukuh jiwanya dan tak goyah oleh cobaan di hari mendatang kelak. Gar justru ketakutan dan merasa tak aman.

Lalu apakah lantas Gar jadi pemberani setelah dewasa? Tidak juga menurut Gar. Seperti usulan vlogging atau membuat konten dari mantan kakaknya, membuatnya ciut dan merasa tertekan seketika. Ini cuma vlogging, padahal. Belum hal yang lebih menantang. Apanya pemberani, Gar membatin. Mungkin kesukaan Gar melamun pertanda ia pengecut yang menutup diri seeratnya, agar tak satu pun hal tak menyenangkan di dunia dilihatnya. Menipu diri dalam idealisme tak nyata, demikian Gar berharap tak ada yang menggugat kesendiriannya yang menyenangkan.

Sekonyong, perempuan tak tahu diri itu datang, menghidupkan sekeping masa kecil Gar yang berbau aroma kue. Begitu tajam, begitu hidup, seakan hari bersejarah itu terulang kembali. Perkenalan Gar dengan kakak tirinya, ketika itu, mereka masing-masing berumur enam dan tujuh tahun. Gar baru berulang tahun keenam sebulan sebelumnya, dan satu tahun silam ibunya meninggal dunia.

Ia kembali mendapat kakak pada hari ini. Perempuan tanpa senyum yang memerintahnya kanan kiri, dan menuntutnya seakan ia tulang punggung bagi toko yang memang tak terselamatkan lagi. Zaman waktu sudah berubah, kilah Gar. Orang zaman sekarang lebih suka berbelanja di pasar modern atau supermarket besar, atau mall yang memanjakan dengan jajanan waralaba dari luar negeri. Toko kue kecil macam Wulandari sudah luput masa edarnya. Tak bisa ditolong lagi, karena bagi Gar, kemauan belum tentu membukakan jalan, bila jalan itu memang tertutup selamanya.

Namun, ini satu jalan terbaik. Gar memutuskan untuk memberi kejutan bagi "kakaknya". Meski bisa kamu tebak, kejutan tidak selamanya harus menyenangkan, bukan?

Good Night Mama MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang