18th of the Moon

41 7 0
                                    

Smile. The magic of smile. Gar hati-hati mengukir senyum di bibirnya, karena konon kemujuranmu dimulai dari senyuman bersahaja. Akhirnya, ada juga satu alasan baginya untuk tersenyum. Alasan bagus bernama peluang emas komisi properti, yang ujung-ujungnya duit yang dibutuhkan Gar, demi harga dirinya, juga demi Om Oskar yang keuangannya kian melilit dari hari ke hari.

Klien kakap itu mampir juga akhirnya. Cukong konglomerat yang lumayan kesohor sebagai raja properti, dan channel Yutube-nya berjuta-juta subscriber-nya. Sontak dan mendadak, durian runtuh menjatuhi Gar, yang bermimpi pun tidak percaya nasib baiknya. Ceritanya ia dikontak Gwen, mengabarkan si cukong dan relasi-relasinya menaksir unit rumah Villabong Tiku, yang membangun satu blok rumah sultan yang taksirannya belasan miliar per unitnya.

"Aku umpanin kamu ke cukong itu, Gar. Gak mau serakah aku, karena aku sudah dapet koleganya si cukong, jadi ada rumah lagi yang bakal gol aku jual. Yeesss!!" Gwen menelepon Gar dengan suara serak-serak basah.

Gwen sakit batuk sudah satu pekan belakangan ini. Sudah diberikan obat bermacam-macam dan baru sedikit membaik hari ini. Maka itu, Gar kemarin malam salah men-chatting mantan kakaknya dan ujungnya diseruduk dengan kata-kata galak. Waduh! Bisa-bisanya dia menyinggung perempuan pemarah itu. Gar tak habis pikir atas kesembronoannya, kok bisa tertukar antara Gwen dan Monas, si sumbu pendek yang gampang meledak-ledak itu? Cari mati lu, Gar!

Ah, lupakan saja, yang lalu biarlah berlalu. Gar mencoba berfilsafat bijak, melupakan mumetnya dengan senyum berseri dan diupayakan nampak profesional. Eh, kok kelihatan dibuat-buat? Ia mengamati cermin kecil di meja dapur. Kesibukan Gwen memasarkan properti memberi peluang bagi Gar untuk latihan tersenyum, karena jujur Gar nervous soal janji temu dengan pak cukong dan malu berat ia mengakui, sampai mesti latihan tersenyum yang sepele saja bagi kebanyakan agen pemasaran.

Aku mesti dapet, nih. Gak boleh lolos peluang yang satu ini. Musti. Harus gol supaya gak malu sama Gwen yang hampir deal rumah keduanya. Bisa! Pasti aku bisa! Gar menekankan afirmasi bagi dirinya sendiri.

Namun, Gar masih tak percaya diri dengan senyumnya. Kata Monas, senyum Gar seperti meledek lawan bicaranya. Bibirnya memang tipis bentuknya, tetapi begitu tersenyum selebar bibir badut menyeringai. Betul juga kata Gwen. Senyum itu mesti representatif sesuai dengan profesi yang dijalani. Mesti nampak friendly, tetapi juga profesional sekaligus semi formal untuk seorang agen pemasaran. Senyum yang terlalu formal juga sepertinya menjaga jarak, namun terlalu sok dekat jatuhnya norak dan malah membuat orang tidak suka. Serba salah, memang.

Duh, kok senyum aja susah amat, yak! Gar memaki gemas pada pantulannya di cermin kecil. Padahal sejak bayi pun manusia sudah bisa senyum. Nah, ini sudah dewasa malah jadi susah dan harus dibuat-buat, ya. Heran, ah!

Senyum Gar dirasa sudah sempurna. Sang investor prospektif sudah di depan matanya. Herannya si cukong sultan malah menggiring Gar berbincang di kantin murah, memilih menu paling sederhana, dan menguliahi Gar soal frugal living yang membuat Gar pucat pasi.

"Frugal living itu bukan berarti pelit, Nak Togar. Penting untuk diketahui anak muda masa kini, budaya konsumtif itu tak ada faedahnya sama sekali. Cuma menghabiskan uang saja. Lebih baik uangnya ditabung atau diinvestasi sedini mungkin. Ingat hidup ini cuma sekali dan waktunya pun singkat sekali." Si cukong yang bernama Dramawan Hidayansah, ironisnya punya akun Yutube atas nama King de la Foya, memaparkan hal yang berlawanan dari gaya hidup wah yang dianutnya selama ini.

"Oh, gitu, Pak. Ya, bagus itu, berarti investasi properti tak boleh ditunda kan, Pak?" Gar menimpali penuh semangat, merasa pancingan ini bakal mengegolkan komisi incarannya.

"Iya, contohnya dari gaya makan kita sehari-hari. Jangan bertualang kuliner cuma karena ingin hidup hype dan mewah-mewah. Biasa saja, yang penting bernutrisi dan bikin kenyang perut. Kantin murah ini, misalnya, dari zaman-zaman susah selera saya masih sama aja. Makanan di sini cool, jempol banget sejak dulu dulu."

Good Night Mama MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang