9th of the Moon

37 5 0
                                    

Advis seorang Monas biasanya ditepis Gar yang skeptis. Soal rambutnya yang spikey tak disengaja, contohnya. Bila cowok-cowok masa kini sengaja menjabrikkan rambut di barbershop harum, Gar tak berdaya menjinakkan rambut bandel dan kurang santunnya. Maksudnya rambut Gar pembangkang sejak dulu. Dioles pomade, wax atau minyak rambut segala macam pun tetap "jingkrak" sana-sini dan membuat minus tampangnya yang biarpun tidak tampan, tapi masih lah lumayan meyakinkan. Parasnya tidak jelek, lumayanlah, hanya saja rambut landak Gar sungguh tak sedap dipandang.

"Aduh, Gar. Rambutmu jarang dikeramas apa, ya? Kok kaku kayak landak, sih? Trus muka kamu kurang bersih, tuh. Facial, gih. Jerawat di dagu kamu banyak dan gede-gede semua."

"Udah, Nya. Keramas pake shampo Cameo. Masak kurang oke?" Gar menyambar seringkasnya.

Nah, ini dia. Mereka "kakak adik" juga sepaham soal merek sampo. Keduanya cocok dengan sampo satu ini. Formulanya ringan, membuat rambut megar tetapi tidak bikin kering, harumnya juga dapet, kata Monas waktu remaja dulu. Gar remaja tertarik pada bau sampo Monas, kakak tirinya waktu itu, dan ia pun membeli sampo yang sama setelah sebelumnya mencuri pakai kepunyaan kakaknya. Namun, sebagus-bagusnya sampo, tak satu macam pun membuat rambut Gar kelimis dan "jatuh".

Rambut jabrik jadi momok bila kamu mau tampil rapi. Masih lumayan bila sekalian jabrik semua, masalahnya rambut Gar jabrik tak merata, membuatnya kelihatan selebor dan acak-acakan. Misi Gar membuat rambut spikey-nya "jatuh" tak pernah sukses, dan akhirnya ia membiarkan saja, sedikit menghibur diri, ini memang dari sananya, justru cocok sama mukanya yang persegi, hidungnya yang mancung tapi cupingnya membulat jambu, jidatnya yang jenong dan bibirnya yang agak tipis.

"Kamu bakal masuk TV, harus ekstra joss penampilanmu." Monas mematut kemeja-kemeja punya Gar, beberapa butir kancingnya ada yang terlepas dan hilang, ada pula yang begitu kusut sampai rasanya mustahil disetrika.

"Apa? Bukan aku dong, Nya. Kamu yang bakal masuk. Aku sudah daftar ke kompetisi Master Baker, emang bener, tapi atas nama kamu. Sorry telat update, baru kasih tahu sekarang. Hehehe."

"Heh??? Gar! Buseeettt! Kamu tuh emang ... emang ..."

***

Siulan girang Gar ada musababnya. Sebuah kantor agen properti menanggapi lamarannya. Sebagai lulusan Sastra Inggris, Gar dulunya dikondisikan melamar kerja sebagai pengajar di lembaga kursus, biro wisata, atau biro penerjemah bahasa asing. Tak terpikir olehnya menjadi agen properti yang istilahnya punya penghasilan tak terbatas bila sedang ketiban rezeki cespleng. Berhubung toko Wulandari masih kembang kempis, Gar merasa perlu secepatnya mencari penghasilan, karena keuangan Om Oskar morat-marit dan istrinya tidak bekerja, murni mengurus rumah tangga.

"Jadi, kamu belakangan ini jadi rapi, bukan persiapan buat tampil di TV gitu? Gue kirain ..." Monas terbata, tak sanggup meneruskan omongannya.

"Sorry, Nya. Kamu baker-nya. Aku tak punya bakat itu. Lagipula soal face and look, kamu udah komplit, gak perlu dipoles lagi. Cakep. Aku yakin, kamu tuh camera face juga lha ya. Sorry lho."

Gar memang patut meminta maaf, lantaran menipu mantan kakaknya yang naif. Seolah-olah ia tertarik mengikuti kompetisi Master Baker yang dikhususkan mencetak koki pastry bakery unggulan. Padahal yang didaftarkannya kakak tirinya, mantan tentunya, yang dinilainya lebih siap tampil di kamera dan lebih dapat bakatnya. Win win solution bagi Gar, lantaran profesi agen properti sangat fleksibel, selagi ia bisa mengurusi toko yang meski "grand opening" pun tetap sepi dari pembeli.

Soal soft opening dan grand opening adalah usulan Monas yang menurut Gar amat lebay dan tendensius. Apa-apaan sih, memangnya toko waralaba atau department store elit, pakai soft apa grand apa, kalau mau buka ya buka saja, gak usah aneh-aneh gitu, kali. Gar memprotes dalam hati. Namun, Gar adik penurut, maka ia membiarkan saja ide-ide ngawur itu dilaksanakan.

Good Night Mama MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang