28th of the Moon

25 8 0
                                    

"Siapa? Alan Brody? Al? Al Brody? Sorry, aku gak ngerasa kenal sama kamu, deh."

Suara di seberang telepon tak familier, bahasa Indonesianya fasih meski nama penelepon terdengar bule dari negeri sono. Al Brody atau Alan Brody. Tak masuk-masuk dalam memori Monas yang blank tanpa ampun. Dulu katanya mereka sobatan di Facebook sepuluh tahun lalu, persis di usia anak SMA lima belas tahunan yang lumayan lugu.

"Ohwh, sorry, sorry. Aku baru ingat, dulu namaku di FB Al Borneo. Iya, soalnya sewaktu kecil aku tinggal di Kalimantan tujuh tahun, sebelum diboyong ortu balik ke Aussie. Ingat, dong, kita simbiosis mutualisme dulunya. Kamu ngajari aku bahasa Indonesia, aku ngajari kamu bahasa Inggris. Trus karena aku hapus akun FB kita lost contact sampai sekarang, Mon. Seriously, aku seneng banget bisa nemu channel Yutube kamu dan aku baru tahu, you are a celebrity in your country. Hahahaha."

Al Borneo!

Nah, suatu klik di memori Monas menyentak, itu dia! Baru sepuluh tahun lalu, mana mungkin ia cepat lupa. Cowok Aussie keturunan Irlandia dan Skotlandia, mencintai bahasa Indonesia karena pernah bermukim di Kalimantan sejak lahir hingga usianya tujuh tahun. Dasarnya bisa sedikit bahasa Indonesia, Al dengan cepat menyerap pelajaran dari Monas masa mereka berteman maya di FB. Monas juga diuntungkan Al yang pandai mengajar bahasa Inggris. Belajar lewat lagu-lagu lawas dari The Beatles, Bee Gees, dan Jose Mari Chan yang lirik bahasa Inggrisnya mudah dicerna, diksinya sederhana, tetapi maknanya amat menakjubkan.

"Kamu Al Borneo? Serius, My Bro? Dulu aku manggil kamu My Bro, padahal kita seusiaan, Al. Ulang tahun kita cuma beda lima hari, kan? Jadi dari channel Yutube kamu tahu nomor telepon toko, seriously?"

Serius, dong. Alan Brody atau Al Borneo tak pernah lupa bahasa Indonesia, berkat jejaring dunia maya yang memungkinkan pertemanan lintas negara. Al sempat menghapus akun FB-nya karena tuduhan cyber bully dari seorang kawannya, sejak itu ia cuma aktif di Yutube dan mencuit di layanan mikroblog daring berlogo burung putih dengan background biru tua.

Yang tak diketahui Monas, Al Brody ternyata menjelma musisi indie lumayan ternama. Setidaknya di Australia dan Selandia Baru, sosoknya punya penggemar lumayan banyak. Bukan Al namanya bila mengontakmu cuma for old times' sake. Al bukan tipe yang mabuk nostalgia, karena kepentingan bisnis yang diungkapnya pada Monas berorientasi ke masa mendatang.

"Kita, kamu sama aku maksudnya bisa cover lagu lawas, judulnya House For Sale, gimana? Aku tahu suara kamu punya potensi, Mon. Video-video kamu menyanyi ada di seluruh Yutube. Semua orang bilang, you've got a beautiful, angelic voice. It's true. Makanya aku ngajak kamu kolaborasi. Gimana menurutmu?"

"Ohoh, video-video itu, ya." Monas menyeringai kikuk, walau menyadari Al tak bisa melihat ekspresinya. Ini landline phone toh, bukan video call.

Video-video menyanyi yang dimaksud Al Brody sumbernya dari audisi dan babak penyisihan yang mengandaskan mimpi Monas jadi idola belantika musik tanah air. Video memalukan yang bersirkulasi di Yutube setelah namanya mencuat sebagai selebritas dadakan. Kenapa mesti sekarang sih, bermunculan satu demi satu, sekaligus dan tanpa ampun? Malah videonya saat mentas sebagai wedding singer juga ada. Terlebih Monas menyesali paras ndeso dan polosnya, karena rekaman dibuat saat usianya 19-an, selagi ia belum mahir memulas make-up.

Alhasil, dengan polosnya, Monas mengiyakan ajakan Al, terpisahkan jarak separuh benua bukan perkara besar di era pergantian abad ini. Alan Brody di Benua Kangguru dan Monas di Jakarta Raya. Mereka bakal merekam duet secara terpisah, kemudian hasil rekaman suara di-mixing dengan aplikasi edit lagu, lalu Al bakal mengunggah video colab di channel-nya yang punya subscriber jutaan orang. Menyanyi untuk pengakuan bakatnya. Monas punya mimpi yang terputus. Tak putusnya menoreh impian mustahil, bahwa kelak suaranya akan dikenal orang banyak, dan menuai pujian seharusnya.

Good Night Mama MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang