Langkah kakinya menyusuri lorong sekolah dengan perlahan. Tadi sempat mengucapkan salam pada temannya; katanya tidak ikut pulang sesuai jadwal seperti biasanya karena dia harus pergi ke perpustakaan untuk menemui seorang guru. Ada urusan mencapai mimpi.
"Halo Bu, aku sudah datang," ujarnya; Jiya.
Sebenarnya namanya Ziya, tapi sedari dulu dia selalu dipanggil Jiya dan dia merasa nyaman dengan panggilan tersebut. Jiya dengan senyum percaya diri menghampiri guru bahasa indonesianya yang sedang sibuk bermain ponsel dan memakan kudapan itu. Bu Eila; yang menoleh dengan pisang goreng di tangannya itu menaikkan kedua alisnya. "Oh! Jiya! Nduk, sini-sini."
Jiya pun berlari kecil untuk duduk di sofa single yang ada di depan Bu Eila. Bu Eila mendeguk, "Sebentar ya. Ibu mau ngabisin pisang goreng dulu."
"Oke." Jiya mengangguk patuh. Terdiam sejenak, Jiya memilih untuk bertanya, "Ini aku doang atau yang lain belum datang Bu?"
"Ada satu lagi ...!" jawab Bu Eila. Jiya mengernyit bingung. "Satu lagi? Berdua doang?"
"Iya, kan kakak kelas dua belas sibuk ngurusin ujian juga. Sama kakak kelas sebelas mau pada study tour, kan?" jelas Bu Eila bersama bahu yang mengendik. Jiya mendehum panjang bersama anggukan memahami. Ia pun menoleh ke arah jendela perpustakaan. Niatnya menunggu siapakah yang akan datang untuk ikut lomba bersamanya.
Jiya akan mengikuti lomba Cipta Cerpen. Dari SMP dia sudah beberapa kali mengikuti lomba tersebut tapi belum pernah sekali pun menang. Meski begitu ia tak terlarut dalam kesedihannya, masih banyak kesempatan lain. Dan di kesempatan lain itu, dia akan berusaha lebih kencang lagi.
"Kamu bawa laptop enggak? Apa nanti mau pake komputer perpustakaan aja ngetiknya?" tanya Bu Eila. Jiya menggeleng seraya menjawab, "Enggak bawa Bu. Sama ngetik pake komputer sini aja. Lebih satisfying."
Bu Eila tertawa pelan dan bertanya, "Gara-gara keyboardnya ya, tombolnya berbunyi?"
Jiya menjentikkan jemarinya sebelum menunjukkan ibu jarinya. "Tepat sekali. Bu Eila dapat seratus dari aku. Nah, karena Bu Eila dapat seratus dari aku, besok UKK aku dikasih 100 ya Bu."
"Nanti SNMPTN susah ... nilaimu ngelunjak sempurna di kelas sepuluh, terus kelas sebelas turun, ga dapat SNMPTN ...." Bu Eila menggeleng tidak setuju. Jiya ikut menggeleng. "Loh ... Bu Eila malah mendoakan yang enggak baik kok ...."
"Iya deh." Bu Eila mengangguk asal sembari membersihkan tangannya dengan tisu basah yang ia punya. Jiya tersenyum. "Iya apa Bu?"
"Iya ho'oh." Bu Eila lagi-lagi mengeluarkan anggukan abai yang membuat Jiya terkekeh puas. Lalu kembali bersandar pada kursi yang didudukinya sementara Bu Eila beranjak untuk pergi mengambil sesuatu.
Maka Jiya pun bersandar santai pada kursi sofa yang ia duduki sembari mengeluarkan buku catatannya di mana ia menulis segala hal yang ia inginkan. Mulai dari puisi, ide cerita, dan karya sastra yang lainnya. Hal-hal seperti monolog dan curahan hati. Tak hanya sekali tapi berulang kali ia tuangkan di dalam buku tersebut. Agaknya menulis adalah hal yang tepat selagi menunggu—
"Permisi."
Jiya menoleh cepat ke arah pintu masuk perpustakaan. Di sana ia melihat seorang laki-laki baru saja masuk ke dalam perpustakaan. Semua orang punya urusannya masing-masing, mungkin dia ada urusan dengan guru lain. Atau tidak—
"Hei."
Jiya yang awalnya kembali fokus dengan bukunya itu pun kembali mendongak menuju arah suara, di sebelah kirinya. Ia bisa melihat laki-laki yang baru saja masuk perpustakaan tadi sedang tersenyum ramah kepadanya. Jiya mengerjap kebingugan. Apa urusan orang ini? Jiya akan bersikap kalau orang ini berusaha untuk mendekatinya secara tiba-tiba.
"Bu Eila bilang kita harus kenalan. Aku Anha. Kamu Ziya, bukan? Nice to meet you," ujar laki-laki itu; Anha dengan percaya diri. Namun ia tak mengulurkan tangannya sama sekali. Ia hanya tersenyum ramah dan berdiri tegap di tempat. Berada setengah meter jauh dari Jiya. Jiya tersenyum senang. Rupanya orang ini tidak seperti yang ia bayangkan.
"Panggil aku Jiya aja ya! Salam kenal!" seru Jiya dengan semangat meski suaranya tidak kencang berhubung mereka sedang ada di perpustakaan.
Anha mengawali perkenalannya dengan benar sebagai lawan jenis. Jiya merasa batasannya dihormati dan ia senang dengan hal tersebut. Anha pun melangkah untuk duduk di depan Jiya. "Ziya dari kelas mana?"
Jiya mengerjap pelan mendengar Anha memanggilnya dengan panggilan 'Ziya'. Padahal dia sudah meminta untuk dipanggil 'Jiya' saja tadi. Tapi tidak apa-apa, nanti diingatkan lagi. Maka Jiya menjawab dengan ramah, "IPS 2. Kamu?"
"Aku dari IPS 4." jawab Anha dengan senyum ramahnya yang masih tercetak manis di wajah.
"Hmm ... Anak IPS juga toh ...." Jiya mengangguk paham, kepalanya sedikit di condongkan ke depan sebagai gestur bahwa ia tertarik mendengarkan Anha. Namun Jiya memiringkan kepalanya saat membaca nama Anha yang tertulis di dada kanannya. "Tapi namamu Amnan—Hamza. Anha?"
"Oh. Dari akhirannya Amnan, Amn—An Ha—mza," jelas Anha pelan. Jiya lagi mengangguk paham. "Oalah ...."
"Omong-omong soal panggilan ya, Anha. Aku-dipanggil Jiya aja, ya? Kalau Ziya kita jadi kerasa enggak akrab gitu," pinta Jiya perlahan. Anha memiringkan kepalanya tidak mengerti. "Tapi Ziya nama aslimu, kan?"
"Iya. Tapi aku udah terbiasa sama 'Jiya'." jawab Jiya, masih keukeuh membuat Anha memanggilnya dengan panggilan 'Jiya'. Anha mengulas senyum. "Tapi, aku ingin memanggilmu dengan nama asli, boleh?"
Jiya menggigit bibir dalamnya. Anha rupanya orang yang keras kepala sekali. Padahal masalah panggilan ini hak Jiya. Tapi, Jiya tidak mau memperdebatkan ini lebih lama lagi. Rasanya konyol sekali. "Ya udah deh untuk sekarang ini kamu ku ampuni."
"Udah pada kenalan?" Bu Eila secara tiba-tiba muncul di samping keduanya. Dengan beberapa buku dan tiga lembar kertas di tangan. Beliau langsung duduk di sebelah Anha dan menunjukkan isi kertas bergambar tersebut pada Anha dan Jiya. Bu Eila mulai menjelaskan, "Seperti yang kalian tahu, ini lomba cerpen. Dengan tema 'Semangat Kreativitas', dengan tenggat waktu lima hari lagi."
Tepat ketika mendengar tema dari Bu Eila, sebuah ide langsung begitu saja muncul di dalam pikiran Jiya. Ia perlahan mengulas senyum senang namun tidak mengatakan apa pun selama Bu Eila menjelaskan perlombaannya. Dengan penuh cekatan Jiya dan Anha mendengarkan penjelasan Bu Eila dari awal sampai akhir.
"Nah, sekarang kalian coba tulisin ide yang muncul di kepala kalian di kertas ini, Bu Eila tunggu ya. Kalau bingung bisa cari ide dari buku-buku ini, sip?" pesan Bu Eila.
Jiya dan Anha mengangguk patuh secara bersamaan. Itu yang membuat Bu Eila mengulas senyum bangganya. Bu Eila pun menepuk pelan puncak kepala dua muridnya itu dengan sayang. "Semangat ...!"
Jiya dan Anha mulai sibuk dengan ide mereka masing-masing. Awalnya Jiya mengekspektasikan bahwa Anha akan mencari referensi terlebih dahulu dari buku-buku yang disediakan oleh Bu Eila. Tapi rupanya tidak, laki-laki itu langsung menulis dengan cepat. Matanya mengerling serius mengikuti setiap gerakannya sendiri. Meski ia menulis dengan cepat, namun tulisannya tetap terlihat begitu rapi. Jiya jadi merasa tersaingi.
Lomba kali ini pasti akan terasa lebih menyenangkan.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathtaking
Teen FictionBaru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin- Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...