"Hey," sapa Jiya saat melihat Anha lagi-lagi duduk manis di halte yang sama seperti kemarin pagi itu. Anha yang sedang membaca buku itu menoleh dan mengulas senyum ramah. Suaranya keluar untuk membalas sapaan Jiya dengan lembut, "Hey."
Jiya kali ini tidak duduk terlalu jauh dari Anha, meski mereka masih berjarak sekitar setengah meter dari satu sama lain. Jiya menatap ke arah luar halte sementara Anha kembali sibuk dengan bukunya. Karena merasakan keheningan di antara mereka agak kurang nyaman bagi Jiya, maka Jiya bertanya penasaran, "Kamu enggak berangkat pakai sepeda lagi?"
Anha mendongak dari bukunya, terdiam sejenak. Ia menoleh dan menjelaskan, "Sepedaku lagi rusak, rantainya ... dan rodanya terutama. Jadi ya ... aku harus nunggu sampai sepeda tua itu bener lagi."
"Karena itu aku jadi terpaksa berangkat naik bis sepagi ini," imbuh Anha dengan kekehan pasrah. Jiya memiringkan kepalanya, "Rumahmu deket sini ... atau, jauh lagi dari gang rumahku?"
"Gang rumah kamu?" Anha menaikkan salah satu alisnya kebingungan. Jiya menunjuk ke gang-gang di samping kanannya dengan polos. "Rumahku bener-bener di sekitar sini."
"Oh, enggak. Rumahku masih di sana lagi." Tangan Anha menunjuk ke arah yang sama, meski lebih jauh lagi. Kemudian melanjutkan perkataannya, "Aku ke sini pagi-pagi biar bisa jalan santai. Lagian bus datang di sekitar jam-jam segini, kan? Jadi aku enggak perlu buru-buru meski harus jalan kaki."
Jiya mengangguk paham setelah mendengar baik penjelasan Anha dari awal sampai akhir. Hening lagi-lagi menjadi suasan di antara mereka pagi itu. Tidak heran lagi. Tapi kali ini Jiya tidak begitu merasa tak nyaman. Hanya saja dia masih penasaran dengan buku yang ada di tangan Anha.
"Baca apa?" tanya Jiya singkat. Anha menoleh lagi, "Hm?"
Jiya menunjuk kecil ke arah buku Anha. Anha melirik sejenak sebelum mendongak singkat. "Oh, ini? Rectoverso, karyanya Dee. Kamu tahulah, karena ... kita mau bikin cerpen bareng dalam waktu mendekat. Jadi aku mulai cari-cari ide, inspirasi. Ya gitu."
"Keren ya ... Anha is such a hard worker ... aku takut kalo aku jadi semacam Jinx yang selalu membawa kekalahan ke dalam lomba karya sastra. Terus nanti malah nyeret-nyeret kamu," ujar Jiya dengan kernyitan tipis penuh horor menjadi air mukanya. Anha tertawa pelan mendengar celotehan Jiya, bertanya, "Kok percaya ada Jinx?"
"Enggak percaya, cuma ngomong aja." jawab Jiya dengan gelengan pelan. Anha menutup bukunya. "Kalau kalah ya enggak papa. Bukan salah siapa-siapa."
"Jangan minder juga. Kamu kan juga pekerja keras, Jiya. Dan kamu bakalan ngelakuin yang terbaik untuk setiap karya sastra yang kamu buat, 'kan?" imbuh Anha dengan lembut. Anha saat itu menolehkan badannya ke arah Jiya sepenuhnya. Jiya menaikkan kedua alisnya mendengar tuturan Anha. Terdiam, tidak menjawab apa-apa.
Anha tersenyum bingung melihat Jiya yang tidak merespon perkataannya. Namun, menyadari bus yang perlahan mendekat ke arah halte di mana mereka ada membuat Anha melupakan situasi saat itu. "Oh, bisnya datang."
Jiya menoleh cepat ke arah bis di belakangnya. Ia segera berdiri ketika melihat Anha sudah berdiri terlebih dahulu dan bersiap untuk masuk ke dalam bus umum kota. Jiya masuk dengan pikiran bingung memenuhi otaknya. Tadi saat Anha berkata kalau dia adalah pekerja keras dan akan melakukan yang terbaik untuk semua karya sastranya—ada gelenyar aneh yang menjalar dari hatinya.
"Cyeh, berangkat bareng."
Jiya menutup mulut Faisha dengan telunjuknya. "Diam bebih, nanti aku em-el-u," ujarnya dengan lebay. Ia mengambil kesempatannya untuk mengeja 'Malu' dengan tidak benar. Malah mengikuti ejaan menggunakan kata singkatan orang-orang saat berkirim pesan di media sosial.
"Satu kelas akan segera mengira kalian berdua pacaran," ujar Dewi yang duduk di sebelah Faisha karena Faisha sedang meng-copy paste tugas matematikanya. Dewi menutup mulutnya, "Ralat. Satu angkatan bakal segera mengira kalau kalian berdua itu pacaran."
"Memaaf, kack. Mengapa sampai satu angkatan ya?" tanya Jiya dengan kedua tangan disatukan sopan di depan dada seperti sedang bermaaf-maafan. Dewi melirik ke arah circle anak populer yang duduk di barisan paling jauh dari pintu masuk kelas. Tempat duduk yang sudah menjadi hak paten untuk anak-anak populer itu. "Ih, kamu tahulah di kelas kita ada siapa, masa iya rumor kalian ga nyebar?"
"Iya juga sih," Jiya menopang dagunya dengan picingan mata sok serius. "Ini sangat berbahaya."
"Nanti kalo ada yang seneng sama Anha dan dia masuk ke daftar orang yang berani ngelabrak, mampus Ya." sahut Dewi dengan gelengan lelah. Jiya menutup mulutnya merasa sedikit takut. Sebenarnya biasa saja, lebih tepatnya ia malas menghadapi orang seperti itu. Ia lebih takut kalau sampai reputasinya rusak karena orang-orang seperti itu.
Dia tidak ingin menghadapi kejadian itu. Semoga bayangan itu tidak benar-benar terjadi. Aamiin.
"Ih males banget kalo harus ngadepin kayak gitu," ujar Jiya dengan lesu. Kepalanya ia baringkan di atas meja dengan malas. "Lagian Anha anaknya kalem gitu, kasian kalo dapet cewek model begituan."
"Kenapa? Pengenmu dia dapetnya kamu ya?" tanya Dewi santai. Jiya langsung duduk dengan tegap. Kedua matanya membulat lebar dan alis mengerut tidak percaya mendengar pertanyaan Dewi. Tapi apa yang keluar dari mulutnya untuk mengelak sebagai jawaban hanyalah omongan yang terbata-bata. "H-Hah?! E-Enggak!"
"Cyeh, salting." Faisha mencolek dagu Jiya dengan jahil. Jiya menepis tangan Faisha pelan, "Bukan begituh, lagian aku ngerasa kalem-kalem aja kalo ngobrol bareng dia. Enggak ada efek butterfly gitu. Itu tandanya saya biasa aja."
"Loh? Jiya nggak tahu?" tanya Faisha kaget. Jiya ikut memiringkan kepala mendengar pertanyaan Faisha. "Apa?"
"Butterfly effect itu tandanya kamu anxiety. Kalo kamu kalem, justru mungkin he's the one." jelas Faisha dengan tawa pelan. Jiya kembali membulatkan kedua matanya. "Eh?"
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathtaking
Teen FictionBaru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin- Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...