Anha yang tengah mengantongi kedua tangannya di dalam kantong celana itu menyusuri lorong sekolah yang mulai sepi. Ini karena, begitu bel pulang sekolah berbunyi, sebagian besar murid-murid langsung buru-buru pulang. Iya, siapa yang mau mengundurkan waktu pulangnya kecuali ada ayang di sekolah atau ada yang bermasalah dengan rumah?—padahal menemani teman juga boleh.
Anha yang awalnya melangkah santai tanpa begitu memperhatikan sekitar itu jadi hampir menabrak seseorang yang keluar dari kantor guru. Anha mendongak tipis untuk melihat siapa orang yang hampir ditabraknya. Itu Jiya dengan kerjapan kagetnya.
"Ah—hei!" sapa Anha dengan senyum lebar. Jiya tersenyum canggung. "H-Hei—"
"Pulang sekarang, Ziya?" tanya Anha. Jiya menggeleng cepat. "E-Enggak, aku masih melaksanakan projectnya."
"Ooh gitu ... semoga lancar ya, semangat deh!" ujar Anha dengan tangan dikepalkan sebagai tanda dukungan. Jiya mengangguk cepat tanpa menatap Anha. "Iya. Makasih, kamu juga ya."
Setelah itu pergi melewati Anha begitu saja. Anha menatap Jiya yang pergi begitu saja dengan kebingungan. Kernyitan tipis penuh rasa heran menjadi air muka Anha saat itu. "Buru-buru banget ya?"
Itu yang Anha pikirkan awalnya.
Tapi setelah beberapa kali bertemu dengan Jiya beberapa hari ini, perempuan itu selalu nampak ingin melarikan diri dari situasi. Seperti kedua matanya yang menghindari kontak mata dengan gugup. Senyum canggung dan badan yang berdiri tidak nyaman. Seperti sekarang ini. Anha tak sengaja bertemu lagi dengan Jiya di kantin.
"Eh, Hai Ziya," sapa Anha ketika ia melihat Jiya sedang mengantri di depan vending machine. Jiya menoleh terkejut mendengar namanya dipanggil oleh Anha, tapi dia membalas dengan senyum tipis. "Hei."
"Jadi—project filmnya sampai mana?" tanya Anha penasaran. Jiya mendehum panjang. "Sedikit lagi proses shootingnya selesai."
"Eeh ...." Anha mengangguk paham dengan senyum terkesan. "Kamu ikut main jadi aktor di sana juga?"
"Iya," jawab Jiya diiringi beberapa kali anggukan. Anha membulatkan kedua matanya mendengar jawaban Jiya. Jujur awalnya dia tidak mengekspektasikan jawaban 'iya' dari Jiya. Mengetahui bahwa Jiya sudah mengambil urusan bagian pembuatan naskah. Kurang berbakat apa Jiya itu? Bagaimana bisa cepren Jiya tidak berhasil masuk ke dalam daftar pemenang lomba kemarin?
"Tapi kamu juga ngurus naskah, kan? Wah—Ziya—emang keren banget sih!" Anha mulai bertepuk tangan sementara Jiya mengambil minuman yang ia beli dari tempat pengambilan minum vending machine. Jiya menggeleng beberapa kali. "Itu karena orang yang mau ikut project dikit dan sekolah ini enggak ada teater, kita harus pakai orang sendiri. Karena enggak ada yang lebih siap aktingnya daripada aku, jadi terpaksa aku yang maju."
"Tapi—tapi tetep, keren loh!" ujar Anha. Anha tersenyum lebar. "Kalau udah jadi aku boleh lihat filmnya?"
"Um—" Jiya menahan omongannya, pandangannya dialihkan dengan canggung, ia pun berdehem sekali. "Gini—eee ... aku harus balik ke kelas, sekarang? Jadi—ya—see you later, i think?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathtaking
Teen FictionBaru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin- Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...