13 : Sorry For Making You Feel That Way

1 0 0
                                    


Sudah satu bulan terlewat semenjak upacara tahun ajaran baru. 


Selama kelas berjalan, sering kali Jiya mengambil sebagian kecil dari waktunya untuk mengobservasi Anha. Terutama pada saat jam-jam istirahat atau jam-jam kosong tiba. Dari yang Jiya lihat, Anha agak sedikit berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Ia berubah ke karakter yang lebih tenang lagi. Senyumnya dua kali lipat lebih lembut, begitu pula sikap dan tatapannya.


Anha paket lengkap cowok manis sekarang. Apa yang kurang dari laki-laki yang satu ini? Lembut, baik, dan puitis.


Aduh—parah, parah. Loh kok jadi memuji, sih?


"Kamu kok enggak ngobrol sama Anha, Ya?" tanya Dewi ketika ia bersandar pada lengan Jiya. Jiya yang sedang bermain game itu menggeleng. "Canggung aku sama dia."


"Loh, kenapa?" tanya Dewi lagi, kali ini mulai penasaran. Jiya terdiam sejenak sebelum menutup mulutnya dramatis seperti sedang menangis. "Ini karena aku diemin dia, setelah pengumuman pemenang lomba yang terakhir kemaren itu loh. Padahal dia enggak salah apa-apa tapi malah aku diemin karena aku iri dia yang menang ... lagian—lagian kita kan cowok dan cewek, saya sangat-sangat tidak wajib untuk menghabiskan waktu dengan dia."


"Baiklah." Dewi mengangguk beberapa kali dengan abai. Jiya pun juga kembali sibuk dengan ponselnya. Namun secara tiba-tiba ia mendapatkan notifikasi dari Bu Eila. Bu Eila memintanya untuk datang ke perpustakaan nanti sore. Jiya melirik ke arah Anha, orang itu nampak sibuk dengan dunianya sendiri. Teman-teman di sekitarnya banyak berbincang sementara ia hanya—entahlah, mungkin sedang menulis sesuatu.


Sebenarnya Jiya penasaran, apakah Anha diminta oleh Bu Eila untuk datang ke perpustakaan juga? Tapi Jiya tidak punya nyali untuk bertanya. Lebih baik ia simpan ini untuk diri sendiri saja.


Hingga jam pulang pun tiba. Jiya membereskan barang-barangnya dengan rapi. Ia lihat Anha sudah keluar sendirian, entah pergi ke mana. Mungkin dia langsung pulang. Sementara Jiya masih pamitan dengan teman-temannya sebelum akhirnya pergi ke perpustakaan.


Ia membuka pintu begitu sampai. "Assalamu'alaikum."


"Jiya, ndhuk! Sini-sini!" 


Jiya tersenyum ketika mendapati Bu Eila melambaikan tangannya dari sofa perpustakaan seperti biasanya. Namun langkahnya sempat terhenti kaget saat melihat Anha yang juga ada di sana, duduk di hadapan Bu Eila. Anha ikut melirik ke arah Jiya, lalu mengalihkan pandangannya lagi tanpa berkata apa-apa.


Jiya sempat mengalihkan pandangan canggung sebelum melanjutkan langkahnya untuk mendekati Bu Eila—dan Anha. Bu Eila tersenyum riang melihat kedatangan Jiya dengan lari kecilnya. "Akhirnya dateng juga anak satu. Bukannya kalian satu kelas? Enggak sekalian bareng aja?"


Anha dan Jiya terdiam tidak sanggup menjawab pertanyaan Bu Eila. Hingga Jiya yang akhirnya memilih untuk buka suara, "Itu—tadi aku ngobrol dulu sama bestiesku Bu. Makanya Anha duluan."


Bu Eila mengangguk paham sebelum menyimpan ponselnya. "Kalian  barengnya di lomba kali ini aja ya?" 

BreathtakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang