5 : Wanna Go Home Together?

1 0 0
                                    


"YHAAAAAAAA!" 


"HYAAAAAAA!!!!!" 


Faisha dan Dewi sedari tadi tersiksa. Tubuh mereka berdua diguncang bergantian oleh Jiya. tidak mengerti atas dasar apa, tapi anak itu kalau nampak lebih gila, salah satu emosinya pasti ada yang meledak. Tinggal memilih, emosi apa? Senang? Sedih? Marah? Cinta, kah?


Yang mengerti untuk saat itu hanyalah Jiya dan Allah yang satu.


"CUKUP, JIYA! CUKUP TAHU!" Dewi mendorong Jiya dengan salah satu tangannya menempel di bibir. "Diam beybih."


"Ada apa gerangan, bicaralah wahai manusia," titah Dewi sebelum duduk manis di bangkunya kembali. Jiya akhirnya menarik dan menghela napasnya dengan teratur. Dia terdiam sejenak sehingga membuat Dewi dan Faisha mengernyit tipis. Namun Faisha terlalu lelah diguncang jadi dia mengabaikan tingkah laku Jiya lebih dulu.


"UUUUHUHUHUHUHUHUHU ...." Jiya secara tiba-tiba menutup kedua matanya menggunakan kedua tangannya. Dewi dan Faisha—walaupun agak lemas—mengernyit melihat teman mereka yang secara tidak jelas itu mengeluarkan seluruh emosinya. Meski Jiya tak benar-benar menangis. 


"Hari ini deadlinenya ... i'll be spending most of my time at the library ...!" seru Jiya dengan senyum sumringah namun secara tiba-tiba ia kembali mengeluarkan suara-suara seolah ia sedang menangis. Bahkan badannya yang awalnya dibuat duduk tegak semangat itu kini kembali lemas bersandar pada meja bangkunya. 


"Eh, Jiya. Tadi katanya Bu Eila kamu disuruh ke perpustakaan nanti habis pelajaran jam kedua," ujar Cinnamon ketua kelas mereka yang baru saja masuk kelas. Entah dari mana, tapi bukan berarti dia baru sampai di sekolah. Jiya mengangguk beberapa kali. "Makasih Mon ...."


"Yoi." Cinnamon mengacungkan kedua ibu jarinya sebelum pergi menuju bangkunya. Jiya menghela napasnya kencang-kencang. "Harusnya saya senang tidak ikut pelajaran, tapi ini saya agak stress."


"EH SEMANGAT WOI!" seru Jiya dengan kerutan kening yakin memukul pelan lengan atas Dewi. Dewi mengacungkan kedua ibu jarinya pada Jiya. Jiya ikut menepuk pundak Faisha beberapa kali. "Sha! Semangat Sha! Aduh, Ya Allah! Semangat banget deh pokoknya!"


"Semangat lihat Anha," ujar Faisha dengan tangan dikepalkan. Sedikit lemas, namun ia angkat ke atas. Jiya menggeleng. "Enggak ya. Aku kan, bilang dia manis bukan berarti suka."


"Alasan, nanti kalau suka aku enggak mau tahu ya," ujar Faisha menutup kedua telinganya.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BreathtakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang